Kisi-kisi Sidang Komprehensif Bahasa dan Sastra Arab 2018


 MATERI KEAGAMAAN :
A.  AKHLAK  TASHAWUF
1.      Bagaimana asal-usul istilah tashawuf dan pengertiannya secara luas?
Ada banayak istilah yang dikemukakan untuk mencari asal-usul istilah tashawuf, diantaranya; suffah, shaf, shafa, shopos, shaufanah, shafwah dan shufwu (tashawafa). Setelah diselidiki, ternyata secara sharfiah yang paling tepat adalah kata terakhir, tashawwafa (memakai baju dari kulit domba).
Secara luas pengertian tashawuf berbeda antara satu ahli dengan lainnya tergantung pengalaman dan rasa yang telah mereka dapatkan dari bertashawuf. Maka para ahli mencoba membagi definisi ini pada tiga kategori utama; al-bidayah: definisi tasawuf yang masih dalam tingkat permulaan, al-mujahadah; definisi yang menyatakan bahwa tashawuf adalah kegiatan dan kesungguhan dari salik dan al-madzaqah; berisi definisi yang berisi pengalaman dan rasa seorang sufi, seperti al-hallaj,IbnuAraby,dll.
2.      Bagaimana sejarah pertumbuhan dan perkembangan tashawuf sampai sekarang?
Secara ajaran, tasawuf adalah Islam itu sendiri, jadi dia tumbuh bersama tumbuhnya Islam di zaman Nabi dan sahabat. Tetapi secara istilah tashawuf atau sufi baru muncul di awal abad ke2H yang dinisbatkan kepada Abu Hasyim as-Sufi. Secara akademik dan teori, tasawuf tumbuh dan berkembang mulai pada abad pertama dan ketiga H. Setelah itu tasawuf mengalami pasang surut dan juga banyak mengambil teori-teori universal dari luar agama Islam.
3.      Bagaimana kedudukan dan urgensi tashawuf dalam ilmu dan ajaran Islam?
Kedudukan tasawuf dalam Islam sangat penting bersama pentingnya pengetahuan tentang syariat. Inti dari tashawuf adalah pembentukan akhlak baik kepada Allah, manusia dan lingkungan. Akidah dan fiqih tidak dapat mencetak seorang menjadi hamba yang taat tanpa mengetahui teori-teori tentang akhlak yang terdapat dalam ilmu tasawuf.
4.      Bagaimana hubungan tashawwuf dengan akhlak?
Inti tashawuf adalah pembentukan akhlak; at-tasawwuf kulluhu akhlak, fa man zada ‘alaika bi at-tasawuf zada ‘alaika bil akhlak, dalam tasawuf, semua bentuk syariat (ibadah) bertujuan uuntuk pembentukan akhlak
5.      Jelaskan tentang hakikat, syariat dan thariqah, serta apa hubungan masing-masing!
Hakikat adalah inti dari syariat. Sedangkan thariqat adalah jalan yang digunakan untuk mengantarkan syariat kearah hakikat. Orang yang bersyariat haruslah mnegetahui inti dari ibadahnya, niscaya dia sempurna dalam beribadah. Hakikat dan syariat tidak dapat dipisahkan dalam masalah peribadatan kepada Tuhan.
6.      Apa yang dimaksud dengan istilah berikut: as-suhbah, mujahadah an-nafs, dzikir, khulwah?
Istilah-istilah ini adalah ajaran praktis dunia tasawuf. As-suhbah adalah proses pencarian teman atau sahabat (mursyid) yang menghantarkan dia ke arah yang lebih baik dan lebih dekat kepada Tuhan. Al-mujahadah adalah proses pembelokan hawa nafsu kearah yang positif. Dzikir adalah proses pendekatan diri kepada Tuhan dengan kalimat-kalimat tertentu. Sedangkan khulwah adalah proses penyendirian seoarng hamba dari hiruk pikuk dunia; ia hanya berdialog dengan Tuhan.
7.      Dalam tashawuf, dikenal pembagian dua aliran; amali/sunni dan falsafi. Jelaskan pengertian dan perbedaannya!
‘Amali adalah corak pemikiran tasawuf yang menitik beratkan proses pendekatan diri kepada Tuhan dengan amalan-amalan praktis. Sedangkan falsafi adalah dengan teori-teori falsafat yang kadang tidak dapat dimengerti orang awam
8.      Apa pengertian Tarekat?
Tarekat secara bahasa adalah jalan. Secara istilah, ia adalah suatu sekumpulan orang, suatu organisasi kesufian yang mana terdapat proses bimbingan dan riyadhah dari seorang mursyid kepada murid-muridnya untuk mecapai tujuan kesufian
9.      Bagiaimana bentuk tarekat?
Bentuk tarekat sangat beragam; cara dan proses bimbingan serta riyadhah nya antara satu sama lain berbeda. Tujuannya tetap sama mengantarkan para murid kearah yang lebih baik. Di antara bentuknya adalah tarekat Qadiriyah, Syadziliyyah, Naqshabandiyah, Samaniyyah, Tijaniyyah, Malwatiyah dan lainnya.
10.  Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan tarekat
Asal muasal tarekat adalah zawiyah, halaqah dan ribat pada tokoh tertentu. Kemudian Abdul Qadir al-Jaelani secara resmi menumbuhkan tarekat Qadiriyyah pada abad ketujuh Hijriyyah. Setelah itu banyak bermunculan tarekat-tarekat lain dan mengambil posisi di hati umat di setiap negara Muslim dan terus berkembang sampai sekarang.
11.  Bagaimana tarekat yang berkembang di Indonesia?
Tarekat yang paling banyak diminati di Indonesia di antaranya adalah; Qadiriyyah Naqshabandiyyah, Smaniyyah, Khalwatiyah, Syatariyah, Alawiyah, Rifaiyyah, al-Haddad dan Khalidiyyah.

12.  Siapa tokoh-tokoh tasawwuf di Indonesia dan bagaimana ajaran tashawuf yang dikembangkannya?
Hamzah Fanshuri; penerus paham wahdat al-wujud Ibn Araby; ar-Raniri; pengembang paham tasawuf amali; al-Palimbani, Hamka; Tasawuf modern dan lainnya.
13.  Bagaimana ajaran Abu Abdurrahman al-Hallaj, Abu Yazid al-Bustahmi, Al-Ghazali, Abdur Qadir al-Jailani, Ibnu Arabi?
Al-Hallaj: Hulul, al-Busthami; ittihad, al-Ghazali; Ma’rifat, Abdul Qadir; pendiri tarekat pertama, Ibnu ‘Araby; wahdat al-wujud.
14.  Beberapa maqam dan ahwal dalam dunia tasawuf?
Maqam dan ahwal sangat beragam tergantung pengalaman para sufi; di antaranya adalah taubat, ridha, sabar, mujahadah, mahabbah, muraqabah, khawuf, raja dan lainnya.
15.  Siapakah tokoh-tokoh tasawuf falsafi?
Al-Hallaj, Ibn Araby, Ibn Sab’in, al-Qunawi, al-Jilli, dan lainnya.

B.  AL-HADITS WA ULUMUHU

1.        Sebutkan pengertian hadits baik secara bahasa maupun istilah!

Hadits secara bahasa; baru (al-jadid), berita /khabar (al-khabr). Sedangkan secara istilah ia adalah segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad baik berupa sabda, perbuatan, taqrir dan hal-ihwal (sifat dan keadaan) beliau.

2.        Jelaskan perbedaan hadits, sunnah, khabar dan atsar!

Al-hadits dan as-Sunnah menurut sebagian ulama adalah sama, sedangkan ada juga yang membedakannya. Hadits dianggap berisi petunjuk Nabi untuk tujuan praktis, sedang as-Sunnah merupakan hukum tingkah laku, baik terjadi sekali maupun berulang kali, baik dilakukan oleh Nabi, Sahabat, Tabiin dan ulama. Sedangkan khabar adalah perkataan yang disandarkan pada sahabat dan dalam istilah lain disebut hadits mauquf. Sedangkan atsar adalah yang disandarkan kepada para tabiin yang disebut juga hadits maqthu’.

3.        Sebutkan syarat-syarat hadits shahih!

Syarat hadits shahih secara singkat adalah; sanadnya bersambung dalam setiap tingkat periwayatan, diriwayatkan oleh orang yang adil, dhabit (kuat hapalan), tsiqat (terpercaya) dan terhindar dari illat dan syadz.

4.        Apa yang dimaksud dengan matan, sanad, rawi, mukharrij?

Matan secara bahasa adalah puncak, sedang secara istilah adalah isi dari hadits, yang disebutkan setelah rangkaian sanad. Sanad adalah rangkaian periwayat hadits. Rawi adalah orang yang meriwayatkan hadits dan mukkharrij adalah orang yang mengeluarkan hadits, menilai dan memberinya lebel shahih, hasan atau dhaif.

5.        Apa yang dimaksud dengan hadits Aziz?

Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang dari dua orang (pada setiap thabaqahnya).

6.        Apakah yang dimaksud dengan hadits gharib?

Hadits yang terdapat penyendirian dalam sanadnya di mana saja atau pada setiap tingkatan.

7.        Apa yang dimaksud dengan hadits masyhur?

Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih (dalam satu thabaqahnya) namun belum mencapai derajat mutawatir.

8.        Apa yang dimaksud dengan hadits mutawatir?

Hadits yang berdasar pada panca indera dan diriwayatkan oleh sejumlah orang yang mustahil menurut adat bersepakat untuk berdusta

9.        Sebutkan beberapa fungsi dan kegunaan hadits pada al-Quran

Fungsi hadits adalah bayan; penjelas terhadap al-Quran; bayan ini terdiri dari bayan taqrir (menguatkan isi al-Quran), bayan tafshil (memperinci maksud al-Quran), bayan taudih (memperjelas makna al-Quran) dan hadits juga berfungsi sebagai hukum tersendiri dalam hukum Islam

10.    Kemukakan pengertian hadits dhaif dan sebutkan macam-macamnya!

Hadits dhaif adalah yang tidak memenuhi persyaratan hadits shahih atau hasan. Diantara bentuknya adalah, hadits mursal, hadits munqathi, hadits mudraj, hadits mudallas, dsb.

11.    Apa yang dimaksud dengan inkar Sunnah?

Inkar sunnah adalah orang atau sekelompok orang yang menganggap bahwa hadits yang bersumber dari Nabi tidak ada fungsinya dalam agama Islam. Al-Quran dianggap sebagai yang sempurna sehingga hadits tidak dibutuhkan lagi.

12.    Sebutkan faktor-faktor terjadinya pemalsuan hadits dan sebutkan contoh-contohnya

Fanatisme golongan, Usaha untuk mendiskreditkan Islam, diskriminasi etnis dan fanatisme kabilah, negara dan imam, tendensi duniawi berupa popularitas dan usaha menjilat penguasa, pemahaman yang keliru dari madzhab al-karramiyah, Faktor politik (terutama saat-saat terjadi fitnah kubra dan perseteruan antara kelompok Ali dan Muawwiyah), Faktor agama (hadits palsu datang dari orang non muslim untuk mendeskreditkan Islam dan kaum muslim), Faktor fanatisme madzhab (baik yang berkaitan dalam masalah teologi, fiqih maupun tashawuf), Faktor sosial (misalnya untuk mendapatkan kedudukan sosial yang tinggi dan meraih pangkat atau kedudukan jabatan), Faktor tukang pemberi cerita dan informasi (mereka berusaha membuat-buat cerita untuk mengajak kearah kebaikan dan pendekatan diri kepada Tuhan), Faktor ekonomi dan Faktor pribadi (seperti ia ingin dianggap sebagai orang yang berilmu, padahal kata-katanya bohong.

13.    Apa yang dimaksud dengan at-tahammul wa al ada dalam periwayatan hadits dan sebutkan cara-caranya

Proses transformasi hadits; pemberian dan penerimaan hadits dari seorang guru kepada muridnya; shigatnya antara lain: al-sama’, al-qiraat, al-ijazah, al-washiyat, al-wijadah, al-kitabah dan al-munawalah.

14.    Dalam memahami pengertian Hadits atau Sunnah, setiap ulama (ulama Hadits, Ushul Fiqih dan Fiqih) berbeda pendapat. Jelaskan dan berikan contoh kasusnya.

Menurut ulama hadits; segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik yang berimplikasi sosial atau tidak.
Menurut ulama ushul hadits; segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi tapi memiliki implikasi hukum, menetapkan dan mengukuhkan.
Menurut ulama fiqh; segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi yang berkaitan dengan lima hukum; wajib, sunnah, haram, fiqih dan makruh.

15.    Sebutkan  10 kitab hadits yang   anda   ketahui berikut nama pengarangnya.

Al-Muwattha’: Imam Malik, Shahih Bukhari: Imam Bukhari, shahih Muslim: Imam Muslim, sunan Turmudzi: Imam Turmudzi, as-sunan al-Kubra: al-Baihaqi, syua’ab al-iman: al-Baihaqi, Sunan Abu Daud, Sunan Ibn Majah, dll.

16.    Sebutkan beberapa buah hadits yang anda hapal!

-          ترى المؤمنين في   تراحمهم  وتوادهم وتعاطفهم كمثل الجسد إذا اشتكى عضوا تداعى له سائر جسده بالسهر والحمى
-          أصدق كلمة قالها الشاعر كلمة لبيد     ألا كل شيء ما خلا الله باطل    وكاد أمية بن أبي الصلت أن يسلم
-          أَيُّ الْإِسْلَامِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلَامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ
-          مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَضِيَافَتُهُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ فَمَا كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ وَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَثْوِيَ عِنْدَهُ حَتَّى يُحْرِجَه
-          الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
-          ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ

C.  USHUL FIQH
1.      Jelaskan pengertian dan latar belakang munculnya ilmu ushul fiqh!
A. Pengertian ushul Fiqh
Kata “ushul Fiqh” adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul” dan kata “fiqh”. Kata “fiqh” secara bahasa berarti “ paham yang mendalam”. SEmentara menurt istilah, fiqh berarti ilmu tentang hUkum-hukum syara’ yang brsifat amaliyah yang digali dan dirumuskan dari dalil-dalil tafshili”. Dan dari arti istilah tersebut dapat dipahami dua bahasan, yaitu bahasan tentang hUkum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah dan tentang dalil-dalil tafshili.
Kata “ushul” yang merupakan bentuk jamak dari kata “ashal”,  secara bahasa berarti ” sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainnya”. Arti ini tidak jauh dari maksud defenitif dari kata “ushul fiqh” tersebut karena ilmu ushul fiqh itu adalah suatu ilmu yang kepadanya didasarkan fiqh. Dengan demikian, ushul fiqh secara istilah berarti “ Ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalil-dalilnya yang terinci atau secara sderhana adalah “Kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya.

B.  Latar belakang munculnya ilmu ushul fiqh
Pada waktu Rasulullah masih hidup, segala persoalan hukum yang timbul langsung ditanyakan kepada beliau. Beliau memberikan jawaban hokum dengan menyebutkan ayat-ayat Al Qur’an dan jika tidak ditemukan dalam AlQur’an, beliau memberikan jawaban melalui penetapannya sendiri yang disebut dengan hadits. Al Qur’an turun dalam bahasa Arab, begitupin hadits Nabi. Para sahabat Nabi memiliki pengetahuan yang luas tentang Bahasa Arab, mereka mengetahui secara baik arti setiap lafadz dan maksud dari setiap ungkapan. Pengalaman mereka dalam menyertai Rasulullah dan pengetahuan mereka tentang asbabun nuzul ayat-ayat hukum memungkinkan mereka mengetahui rahasia semua hukum yang ditetapkan Allah. Jika para sahabat menemukan peristiwa yang memerlukan hukumnya, mereka mencari jawabanya dalam Al Qur’an dan hadits dan jika tidak ditemukan mereka menggunakan daya nalar mereka yang dinamakan ijtihad.
Setelah masa gemilang itu berlalu, datanglah suatu masa dimana umat Islam sudah bercampur baur antara orang-orang yang berbahasa Arab dan memahaminya secara baik dengan orang-orang yang tidak berbahasa Arab atau tidak memahaminya dengan baik. Waktu itu Bahasa Arab menjadi suatu yang harus dipelajari untuk memahami hukum-hukum Allah. Karenanya para ahli berusaha menyusun kaidah-kaidah untuk menjaga seseorang dari kesalahan dalam memhami Al Qur’an dan hadits yang keduanya adalah sumber pokok ajaran Islam. Kemudian para ulama mujtahid merasa perlu menetapkan dan menyusun kaidah atauran permainan yang dijadikan pedoman dalam merumuskan hukum-hukum dari sumbernya yang memperhatikan asas dan kaidah yang ditetapkan ahli bahasa yang memahami dan menggunakan Bahasa Arab secara baik. Kaidah dalam memahami hukum Allah dari sumbernya itulah yang disebut ushul fiqh.

2.      Bagaimanakah perkembangan ushul fiqh pada masa sahabat dan tabi’in?
Ilmu ushul fiqh bersamaan munculnya dengan ilmu fiqh meskipun dalam penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dulu. Perumusan fiqh sebenarnya sudah dimulai langsung sesudah Nabi wafat, yaitu pada masa sahabat. Pemikiran dalam ushul fiqh telah ada pada waktu perumusan fiqh tersebut. Para sahabat- diantaranya Umar bin Khattab, Ibnu Mas’ud, Ali Bin Abi Thalib ketika mengemukakan pendapatnya tentang hukum, sebenarnya telah menggunakan aturan atau pedoman dalam merumuskan hukum, meskipun secara jelas mereka tidak mengemukakan demikian. Misalnya ketika Ali bin Abi Thalib menetapkan hukuman cambuk sebanyak 80 kali bagi peminum khamr, beliau berkata “bila ia minum ia akan mabuk, bila mabuk ia akan menuduh orang berbuat zina, maka kepadanya diberikan hukuman berbuat zina. Pernyataan Ali tersebut  rupanya menggunakan kaidah menutup pintu kejahatan yang akan timbul atau “sad al Dari’ah”. Pada masa tabi’in lapangan istinbath atau perumusan hukum semakin luas karena begitu banyaknya peristiwa hukum yang bermunculan. Pada masa ini tampil beberapa ulama seperti Sa’id ibnu Musayyab dan Ibrahim al Nakha di Irak. Mereka mengetahui secara baik ayat-ayat hukum dalam AL Qur’an dan memiliki koleksi hadits yang lengkap. Jika mreka tidak menemukan jawaban hukum dalam Al Qur’an dan hadits, sebagian mereka mengikuti metode maslahat dan sebagian lagi mengikuti qiyas. Usaha istnbath hukum yang dilakukan Ibrahim al Nakha mengarah pada mengeluarkan illat hukum dari nash dan menerapkannya terhadap peristiwa yang sama yang baru bermunculan kemudian hari.  Perbedaan metode yang digunakan inilah akhirnya menyebabkan timbulnya perbedaan aliran dalam fiqh.


3.      Bagaimanakah peranan Imam syafi’I dalam penyusunan buku ushul fiqh?
Imam Syafi’I pantas disebut sebagai orang pertama yang menyusun sistem metodologi berpikir tentang hukum Islam, yang kemudian populer dengan sebutan ushul fiqh; sehingga tidak salah ucapan seorang orientalis Inggris, N.J. Coulson yang mengatakan bahwa Imam Syafi’I adalah arsitek ilmu fiqh. Hal ini bukanlah berarti bahwa beliau yang merintis dan mengembangkan ilmu tersebut, jauh sebelum beliau, mulai dari para sahabat, tabi’in bahkan di kalangan imam mujtahid belakangan seperti Abu Hanifah, Imam Malik , Muhammad Al Baqir dan Ja’far al Shadiq sudah menemukan dan menggunakan metodologi dalam perumusan fiqh. Tetapi mereka belum menyusun ilmu itu secara sistematis sehingga dapat disebut sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Tidak seperti halnya Imam Syafi’I yang menyusun sebuah buku dengan judul Ar risalah sebagai buku pertama yang mengupas tuntas tentang ilmu ushul fiqh secara sistematis.

4.      Setelah melembaganya madzhab-madzhab fiqh, arah pengembangan ushul fiqh terlihat dalam dua bentuk, yaitu ushul fiqh syafi’iyah atau ushul fiqh mutakallimin dengan ushul fiqh Hanafiyah.  Jelaskan perbedaan kedua metode di atas!
Ushul fiqh Syafi’iyah atau ushul mutakallimin merupakan arah pemikiran murni, yaitu  penyusunan kaidah ushul yang tidak terpengaruh kepada furu’ madzhab manapun. Perhatian pembahasan dalam hal ini mengarah pada penerapan kaidah dan menguatkannya tanpa terikat pada amal yang berkembang di kalangan mdzhab. Penamaan ulama mutakalllimin di sini karena pemikiran ulama kalam di bidang ini mengelempok dalam aliran ushul fiqh. Adapun  ushul fiqh hanafiyah mengarah pada penyusunan ushul fiqh yang terpengaruh pada furu’ dan menyesuaikannya bagi kepentingan furu' serta berusaha mengembangkan ijtihad yang telah berlangsung sebelumnya. Hal ini berarti bahwa pengikut madzhab melakukan ijtihad untuk memelihara hukum fiqh yang dicapai oleh ulama pendahulu madzhabnya. Mereka mengemukakan kaidah-kaiadah yang mendukung dan menguatkan madzhab mereka.

5.      Ahlussunnah menyepakati Al Qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas sebagai dalil dan sumber hukum Islam. Jelaskan landasan hukum yang kuat dari AL Qur’an dan hadits terhadap keempat sumber hukum tersebut!
1.      Landasan dalam Al Qur’an tentang sumber hukum Islam diantaranya tercantum dalam surat al nisa (4) ayat 59,yaitu :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqß§9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB (
 bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqß§9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè?
«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. Al nisa (4) : 9)
Perintah mentaati Allah berarti perintah menjalankan hukum yang terdapat dalam Al Qur’an. Perintah mentaati Rasul  berari perintah mengamalkan apa yang disampaikan Rasul dalam sunnahnya. Perintah mentaati ulil Amri berarti perintah mengamalkan hukum yang ditemukan berdasarkan ijma’. Perintah mengembalikan sesuautu yang diperselisihkan hukumnya kepada Allah dan Rasul berarti perintah megamalkan hukum yang ditemukan melalui qiyas. Sedangkan landasan dalam sunnah adalah kisah pembicaraan Rasuullah dengan Muaz bin Jabal ketika ditanya tentang sumber hukum yang dipakai dalam memutuskan suatu perkara, Muaz menjawab bahwa ia akan memutuskan perkara tersebut berdasarkan Al Qur’an, jika tidak ditemukan dalam Al Qur’an maka akan dicari dalam hadits Nabi dan jika tidak ditemukan pula maka ia akan mengamalkan ijtihad dengan daya nalarnya dan ia pun berjanji tidak akan berbuat kelengahan. Rasulullah merasa bangga atas semua yang diuacapkan Muaz tersebut.

6.      Apa yang Anda ketahui tentang kedudukan Sunnah terhadap Al Qur’an?
Sunnah merupakan sumber kedua setelah Al Qur’an. Kedudukan Sunnah terhadap Al Qur’an sekurang-kurangnya ada tiga hal, yaitu :
a.       Sunnah sebagai penguat Al Qur’an. Hukum Islam disandarkan pada dua sumber yaitu Al Qur’an dan sunnah. Uuntuk itu, tidak heran jika banyak sekali sunnah yang menerangkan hal-hal yang telah dijelaskan dalam Al Qur’an seperti kewajiban shalat, puasa, larangan musyrik, dan lain-lain.
b.      Sunnah sebagai penjelas Al Qur’an, misalnya jumlah rakat dalam shalat. Dalam Al Qur’an hanya menyuruh manusia untuk mengerjakan shalat sedangkan cara-cara dan jumlah rakaat dalam setiap shalat baru dijelaskan dalam Sunnah.

7.      Jelaskan pengertian ijma’ baik secara bahasa maupun istilah!
Ijma’ menurut bahasa (etimologi) mengandung dua arti, yaitu ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu. Hal ini dapat dilihat dalam Al Qur’an surat Yunus (10) ayat 71 :
(#þqãèÏHødr'sù öNä.{øBr& öNä.uä!%x.uŽà°ur
“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku)…”. (QS. Yunus (10) : 71
Kedua, ijma’ dalam arti sepakat sebagai mana terdapat dalam AlQur’an surat Yusuf (12) ayat 15 :
$£Jn=sù (#qç7ydsŒ ¾ÏmÎ/ (#þqãèuHødr&ur br& çnqè=yèøgs Îû ÏMt6»uŠxî Éb=ègø:$# 4
“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur)”. (QS. Yusuf (12): 15)
Adapun pengertian ijma’ menurut istilah sebagaimana pendapat Abdul Wahab Khalaf yaitu :
إتفاق جميع المجتهدين من المسلمين فى عصر من العصور بعد وفاة الرسول
 على حكم شرعيّ فى واقعة من الوقائع
“Konsensus semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah Rasulullah wafat atas suatu hukum syara’ mengenai suatu kasus”


8.      Jelaskan dua dalil yang dikemukakan Jumhur ulama tentang kehujjahan ijma’!
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ menempati salah satu sumber hukum Islam setelah Al Qur’an dan sunnah. Ini berarti ijma’ dapat menetapkan hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat Islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam Al Qur’an maupun Sunnah. Untuk menguatkan pendapat ini jumhur ulama mengemukan beberapa ayat Al Qur’an, di antaranya surat Al Nisa (4) ayat 115, dan surat Al Baqarah (2) ayat 143, yaitu :
`tBur È,Ï%$t±ç tAqß§9$# .`ÏB Ï÷èt/ $tB tû¨üt6s? ã&s! 3yßgø9$# ôìÎ6­Ftƒur uŽöxî
 È@Î6y tûüÏZÏB÷sßJø9$# ¾Ï&Îk!uqçR $tB 4¯<uqs? ¾Ï&Î#óÁçRur zN¨Yygy_
( ôNuä!$yur #·ŽÅÁtB ÇÊÊÎÈ
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. Al Nisa (4) : 115)
Dalam ayat ini, “ jalan-jalan orang mukmin” diartikan sebagai apa-apa yang telah disepakati untuk dilakukan orang mukmin. Inilah yang disebut ijma’ kaum mukminin.
y7Ï9ºxx.ur öNä3»oYù=yèy_ Zp¨Bé& $VÜyur (#qçRqà6tGÏj9 uä!#ypkà­ n?tã Ĩ$¨Y9$#
 tbqä3tƒur ãAqß§9$# öNä3øn=tæ #YÎgx© 3
“Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…”.(QS. Al Baqarah (2) : 143)
Ayat ini mensifati manusia dengan  wasath yang berarti adil. Ayat ini memandang umat Islam itu sebagai adil dan dijadikan hujjah yang mengikat terhadap manusia untuk menerima pendapat mereka sebagaimana ucapan Rasulullah menjadi hujjah terhadap kita untuk menerima semua ucapan yang ditujukan kepada kita. Ijma’ berkedudukan sebagai hujjah tidak lain artinya kecuali bahwa pendapat mereka itu menjadi hujjah terhadap yang lain.

9.      Jelaskan pengertian Qiyas menurut ulama ushul! Berikan contoh hukum yang ditetapkan berdasarkan qiyas!
Secara etimologis, kata qiyas berarti قدر artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya. Sedangkan menurut istilah, pengertian qiyas sebagaimana pendapat Al Ghazali, yaitu :
حمل معلوم على معلوم فى إثبات حكم لهما أو نفيه عنهما بأمر جامع بينهما
 من إثبات حكم أو نفيه عنهما
Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduana disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hokum atau peniadaan hukum.
Adapun contoh penetapan hukum berdasarkan qiyas misalnya hukum haramnya narkoba karena diqiyaskan pada minuman keras. Hal ini terjadi karena dalam qiyas terdapat empat rukun, yaitu :
-          Maqis alaih atau ashal yaitu hal yang telah ditetapkan sendiri hukumnya. dalam hal ini minuman keras atau khamr
-          Maqis atau far’u yaitu hal yang belum diketahui hukumnya secara jelas dalam nash syara’. Dalam hal ini narkoba
-          Hukum asal, yaitu hukum syara’ yang telah ditetapkan oleh nash. Dalam hal ini hukum haram minum khamr
-          Illat yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashal. Dalam hal ini, khamr itu memabukkan.  Untuk lebih jelasnya : Khamr hukumnya haram karena memabukkan. Narkoba adalah sesuatu yang belum jelas hukumnya dalam nash tapi memilki kesamaan dengan khamr karena sama-sama memabukkan, maka narkoba hukumnya haram sama seperti khamr.
10.  Uraikan pengertian dan dasar hukum ijtihad!
Ijtihad menurut bahasa berarti kesanggupan yang sangat atau kesungguhan yang sangat. Adapun pengertian ijtihad menurut istilah adalah :
عمليّة إستنباط الأحكام الشرعيّة من أدلّتها التفصيليّة فى الشريعة
Aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbath) hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syari’at.
Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara”. Adapun dasar hukum yang membolehkannya ijtihad itu banyak sekali baik melalui pernyataan jelas maupun yang berupa isyarat, diantaranya terdapat dalam surat Al Nisa (4) ayat 105, yaitu :
!$¯RÎ) !$uZø9tRr& y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ zNä3óstGÏ9 tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# !$oÿÏ3 y71ur& ª!$#
“Sesungguhnya Kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi diantara manusia dengan apa yang Allah mengetahui kepadamu”.(QS. Al Nisa (4) : 105)
Dalam ayat tersebut terdapat penetapan ijtihad berdasarkan qiyas. Selain ayat Al Qur’an di atas, terdapat pula keterangan dari sunnah yang membolehkan  berijtihad,diantaranya kisah pembicaraan Rasulullah dengan Muaz bin Jabal atau berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar, sebagai berikut :
إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران  فإذا حكم الحاكم فاجتهد ثمّ أخطأ
 فله أجر
“Jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua pahala, dan bila salahmaka ia mendapat satu pahala”
11.  Bagaimanakan cara penyelesaian dalil-dalil yang bertentangan? Berikan contohnya!
Dalam upaya penyelesaian perbenturan antara dua dalil hukum, para ulama ushul fiqh bertolak pada suatu prinsip yang dirumuskan dalam kaidah :
العمل بالدليلين المتعارضين أولى من إلغاء أحدهما
Mengamalkan dua dalil yang berbenturan lebih baik dari pada menyingkirkan satu diantaranya
Ada tiga tahap penyelesaian yang tergambar dalam kaidah itu, yaitu :
a.       Sedapat mungkin kedua dalil itu digunakan sekaligus, sehingga tidak ada dalil yang disingkirkan. Misalnya ayat 240 dan ayat 243 surat Al Baqarah yang menetapkan bahwa iddah bagi istri yang kematian suami adalah 4 bulan 10 hari, sedangkan ayat 240 menetapkan iddahnya satu tahun. Usaha kompromi dalam kasus ini adalah dengan menjelaskan bahwa yang dimaksud “bersenang-senang selama satu tahun” (dalam ayat 240) adalah untuk tinggal di rumah suaminya selama satu tahun kalau ia tidak kawin lagi, sedangkan waktu tunggu 4 bulan 10 hari (dalam ayat 243) maksudnya sebagai larangan untuk kawin dalam masa itu. Dengan demikian kedua ayat walaupun kelihatannya bertentangan namun keduanya dapat digunakan sekaligus. 
b.      Setelah dengan cara apapun kedua dalil itu tidak dapat digunakan sekaligus, maka diusahakan setidaknya satu diantaranya diamalkan, sedangkan yang satu lagi ditinggalkan. Hal ini bisa menggunakan metode nasakh yaitu dalil yang datang belakangan yang dipergunakan, atau dengan tarjih yaitu menggunakan dalil yang dipandang lebih kuat, atau juga bisa dengan cara takhyir yaitu memilih salah satunya dengan tetap menghormati kebenaran dalil yang tidak diamalkan.
c.       Sebagai langkah terakhir, tidak dapat dihindarkan kedua dalil itu ditinggalkan, dalam arti tidak diamalkan keduanya.
12.   Jelaskan secara singkat beberapa metode ijtihad yang masih menjadi ikhtilaf dikalangan para ulama!
Metode ijtihad yang masih menjadi ikhtilaf adalah sebagai berikut :
a.   Istihsan, yaitu perpindahan dari satu hukum yang telah ditetapkan oleh dalil syara’ kepada hukum lain karena ada dalil syara’ yang mengharuskan perpindahan ini sesuai dengan jiwa syari’at Islam. Misalnya ; seseorang memiliki kewenangan bertindak hukum jika sudah dweasa dan berakal. Bagaimana kalau anak kecil yang pergi ke warung untuk membeli sesuatu? Berdasarkan istihsan anak kecil itu diperbolehkan membeli barang-barang kecil yang menurut kebiasaan tidak menimbulkan mafsadat.
a.       Maslahah Mursalah, yaitu memberikan hukum syara’ kepada suatu kasus yang tidak terdapat dalam nash atau ijma’ atas dasar memelihara kemaslahatan, misalnya pembentukan dewan-dewan dan percetakan mata uang di masa Umar bin Khathab, memberlakukan adzan dua kali pada masa Usman bin ‘Affan.
b.      Istishhab, yaitu tetapnya suatu hukum jika tidak ada yang merubahnya, seperti Seorang yang telah menikah terus dianggap ada dalam hubungan suami istri sampai ada bukti lain mereka telah bercerai, misalnya dengan talak.
c.       Adat atau ‘Urf adalah sikap, perbuatan dan perkataan yang biasa dilakukan oleh kebanyakan manusia atau oleh manusia seluruhnya, seperti ketika seseorang masuk ke kolam renang atau pemandian umum yang memungut bayaran, orang hanya membayar seharga tarif masuk yang ditentukan tanpa memperhitungkan berapa banyak air yang dipakainya dan berapa lama ia menggunakan pemandian tersebut.
d.      Madzhab Shahabi adalah fatwa sahabat secara perorangan, misalnya adzan dua kali ketika akan melaksanakan shalat jum’at pada masa Usman bin Affan
e.       Syar’u man Qablana yaitu syariat sebelum kita, misalnya pelaksanaan puasa diwajibkan kepada umat Muhammad diwajibkan pula pada umat sebelumnya, atau puasa nabi Daud masih bisa dilakukan oleh umat Muhammad karena tidak ada larangan baik dari Al Qur’an maupun hadits .
f.       Sadd darari’. Dzari’ah adalah jalan yang menyampaikan kepada tujuan, yaitu jalan untuk sampai kepada yang haram atau kepada yang halal. Maka jalan yang menyampaikan pada yang haram, hukumnya pun  menjadi haram begitu juga sebaliknya, misalnya zina itu hukumnya haram, maka melihat aurat wanita yang membawa kepada perzinahan adalah haram juga.

13.  Analisa ayat أقيموا الصلاة  ditinjau dari segi sighat taklif!
Analisa ayat أقيموا الصلاة   ditinjau dari segi sighat taklif. Ayat di atas terbentuk dari shighat amar yang menghendaki pihak yang disuruh wajib melaksanakan apa yang tersebut dalam lafadz itu. Amar dalam ayat ini menimbulkan hukum wajib meskipun tanpa qarinah yang mengarahkannya untuk itu. Dengan demikian, menurut ayat di atas shalat itu hukumnya wajib. Di samping itu pula ada kaidah الأصل فى الأمر للوجوب
14.  Bolehkan berhujjah dengan mafhum mukhalafah? Lengkapi dengan contoh hukumnya!
Mafhum mukhalafah adalah pengertian yang dipahami berbeda dari ucapan, baik dalam istinbath maupun nafyi. Berhujjah dengan mafhum mukhalafah diperbolehkan dengan syarat :
a.       Mafhum mukhalafah tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat baik dalil manthuq maupun mafhum muwafaqah, misalnya ayat
Ÿwur (#þqè=çGø)s? öNä.y»s9÷rr& spuô±yz 9,»n=øBÎ)
“Janganlah kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan” (QS. Al Isra (17) : 31)
Mafhumnya, kalau bukan karena takut kemiskinan maka anak boleh dibunuh. Mafhum mukhalafah ini bertentangan dengan manthuq,
Ÿwur (#qè=çFø)s? }§øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 3
“ Janganlah kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali dengan kebenaran” (QS. Al Isra (17) : 33)
Atau contoh lain dalam ayat :
* Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é& Ÿwur $yJèdöpk÷]s?
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka”. (QS. Al Isra (17) : 23)
Menurut ayat di atas, yang tidak boleh adalah mengatakan “ah” atau kata-kata kasar kepada orang tua, mafhum mukhalafahnya boleh memukul. Tetapi mafhum ini berlawanan dengan mafhum muwafaqahnya yaitu tidak boleh memukul, menendang, membunuh,dan lain-lain.
b.      Yang disebutkan (manthuq) bukan yang biasanya terjadi, seperti :
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur
öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ˈF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$#
öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur šÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS
ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu…” (QS. Al Nisa (4) : 23)
Perkataan “ yang ada dalam pemeliharaanmu” tidak boleh dipahami bahwa yang tidak ada dalam pemeliharaanmu boleh dikawini. Perkataan itu disebutkan sebab memang biasanya anak tiri dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.
c.       Manthuq bukan dimaksudkan untuk menguatkan suatu keadaan, misalnya :
المسلم من سلم المسلمون من يديه و لسانه
“Orang Islam adalah orang yang tidak mengganggu orang Islam lainnya, baik dengan tangan ataupun dengan lisannya” (Hadits)
Dengan perkataan “orang Islam” tidak dipahami bahwa orang kafir boleh diganggu, sebab perkataan tersebut dimaksudkan alangkah pentingnya hidup rukun dan damai di antara orang-orang Islam sendiri.
d.      Manthuq harus berdiri sendiri, tidak mengikuti pada yang lain. Misalnya :
Ÿwur  ÆèdrçŽÅ³»t7è? óOçFRr&ur tbqàÿÅ3»tã Îû ÏÉf»|¡yJø9$#
“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid…”. (QS. Al baqarah (2) : 187)
      Ini tidak berarti kalau tidak I’tikaf di mesjid boleh dicampuri.
D.  ULUM AL-QURAN DAN  TAFSIR
1.   Pembahasan dan ruang lingkup ulum al-Quran
Secara komprehensif, fokus pengkajian ulum al-Quran ditekankan pada lima hal; 1) pewahyuan al-Quran, 2) Sejarah Penulisan al-Quran, 3) Bacaan al-Quran, 4) Pemahaman isi al-Quran dan 5) kemukjizatan al-Quran. Merujuk pada pembagian Alford T. Welch, studi al-Quran diarahkan pada tiga bidang; (1) exeesis atau studi teks al-Quran itu sendiri, (2) sejarah interpretasinya dan (3) peran al-Quran dalam kehidupan dan pemikiran umat Islam.
2.  Sejarah dan buku-buku ‘ulum al-Quran dari masa ke masa
Buku-buku teks tertulis tentang ulum al-Quran belum ada pada zaman Nabi saw. Baru pada abad ketiga hijriyah mulai berkembang pembahasan tentang al-Quran secara tertulis. Pembahasannya dapat dikelompokkan dalam dua bentuk; juz’i (parsial) dan syamil (komprehensif).
Abad ketiga diawalai dengan pembahasan secara juz’i: Ali bin al-Madini dan Syaikh al-Bukhari menulis asbab an-nuzul, tidak masalah yang lain. Muhammad bin Ayyub menulis ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah.
Abad keempat: diawali dengan secara syamil; Muhammad bin Marzaban; al-Hawi fi ulum al-Quran, Muhammad bin Qasim al-anbari menulis “ajaib ulum al-Quran, dll.
Abad kelima: Ali bin Ibrahim bin Said al-Khufi menulis al-Burhan fi ulum al-Quran. Dst.
3.   Pengertian wahyu, tata cara penurunan wahyu, nama-nama al-Quran, hikmah diturunkan al-Quran berangsur-angsur
Secara bahasa; 1) ilham fitri yang dimiliki manusia; al-Qashash: 7, 2) ilham insting pada hewan; an-naml: 68, 3) isyarat yang cepat dengan simbol atau tanda; Maryam: 11, 4)bisikan syaithan; al-An’am; 112, 5) perintah kepada malaikat-Nya; al-Anfal: 12.
Secara istilah: pemberitahuan Allah kepada manusia pilihannya yang berisi hidayat secara samar dan cepat.
Nama-nama al-Quran: as-Syifa, al-Dzikr, al-Kitab, al-Furqan, al-nadzir..dst.
Hikmah diturunkan berangsur-angsur; menguatkan hati Nabi saw., tantangan dan mujizat, mudah dihapal dan dipahami, kebersesuaian antara ayat dengan peristiwa dan bertahap dalam penerapan hukum, dll.
4.   Ayat-ayat Makkiyyah dan Madaniyah: pengertian dan ciri-cirinya
Ada tiga kategori pembagian ayat ke dalam Makkiyah dan Madaniyah: pertama; berdasarkan waktu (zaman nuzul); ayat disebut Makkiyah apabila ayat tersebut diterima Nabi pada masa sebelum hijrah ke Madinah (622), sedangkan Madaniyah adalah ayat-ayat yang diterima ketika beliau sudah hijrah ke Madinah. Kedua; berdasarkan audiensi wahyunya (khitab an-nuzul); jika khitab ditujukan kepada penduduk Makkah maka termasuk Makkiyah, sedang jika ditujukan kepada penduduk Madinah maka termasuk ayat-ayat Madaniyah. Kategori ketiga berdasarkan tempat diterimanya wahyu (makan an-nuzul); apabila wahyu diterima di Makkah maka termasuk Makkiyah dan sebaliknya.
Para ulama ulum al-Quran telah berusaha membuat suatu batasan ayat-ayat kategori Makkiyah dan Madaniyah; batasan ini dicirikan baik dari sisi redaksi maupun dari sisi tema; dari sisi tema, Makkiyah: dakwah kepada tauhid, menetapkan dasar-dasar syariat dan akhlak, penyebutan kisah-kisah umat masa lalu, suratnya pendek-pendek tetepi kata-katanya kuat. Dll.
5.   Pengertian sabab nuzul, faidah mengetahui asbab an-nuzul, ayat pertama yang diturunkan, ayat yang terakhir diturunkan
Sabab nuzul bukan hanya sebab yang melatarbelakangi pewahyuan al-Quran, melainkan dapat pula suatu pertanyaan, peristiwa atau kejadian yang mengiringi pewahyuan tersebut.
Pengetahuan tentang sabab nuzul diperlukan untuk mencapai pemahaman yang pasti karena ungkapan al-Quran masih bersifat umum dan sama sekali tidak menyebutkan situasi atau konteks saat diturunkannya.
Ayat yang pertama diturunkan; sebagian jumhur adalah surat al-alaq 1-5, sedang yang terakhir adalah surat al-Maidah ayat 3.
6.   Pengertian muhkam dan mutsyabih, jenis-jenis mutsyabih, faidah adanya muhkam dan mutsyabih
Pengertian: Muhkam adalah suatu ayat yang maksudnya sudah diketahui, baik karena memang kejelasannya ataupun karena proses takwil, sedangkan mutasyabih adalah ayat yang maksudnya hanya dimiliki oleh Allah saja; seperti ayat tentang terjadinya kiamat, keluarnya dajjal dan huruf-huruf penggalan (muqattha’ah) di setiap awal surat.
Jenis: mutasyabih yang pertama, yaitu dari aspek lafadz dibagi dua; lafadz mufrad dan jumlah murakkab. Contoh yang mufrad adalah kata “al-abb, yaziffun, al-ayad dan al-yamin”. Contoh yang murakkab adalah:
وإن حفتم ألا تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء (للإختصار)
ليس كمثله شيء (للبسط)
أنزل على عبده الكتاب ولم يجعل له عوجا قياما (لنظم الكلام)
Jenis Mutasyabih yang kedua, yaitu dari aspek makna adalah mengenai sifat-sifat Allah dan gambaran tentang kiamat. Sifat dan gambaran tersebut tidak dapat terbetik oleh kita, karena kita belum merasakan dan bukan jenis kita.
Jenis mutasyabih yang ketiga, yaitu dari aspek makna dan lafadz ada lima macam; pertama, dari aspek kuantitas, seperti ayat yang bersifat umum atau khusus. Seperti ayat “fa (u)qtulu al-musyrikin”. Kedua, dari aspek kualitas, seperti kata yang menunjukan kepada wajib atau nadab. Contoh; “fa ankihu ma thaba lakum min an-nisa”. Ketiga, dari aspek waktu, seperti adanya nasikh dan mansukh. Contoh: “ittaqu Allah haqqa tuqatih”. Keempat, dari aspek tempat dan hal-hal yang berkaitan dengan turunnya ayat. Seperti ayat:
وليس البر بأن تأتوا البيوت من ظهورها
إنما النسيء زيادة في الكفر
Orang yang tidak mengetahui kebiasaan jahiliyyah akan kesulitan memahami ayat-ayat tersebut. Kelima, dari aspek syarat yang dengannya suatu amal akan sah atau tidak, seperti syarat-syarat shalat dan nikah.
Hikmah: Di antaranya: 1)Sebagai hujjah Allah kepada orang-orang Arab yang selalu membanggakan diri dengan kepiawaiannya dalam berbahasa, baik dalam balaghah, qasar maupun ithnab. 2)Sebagai batu ujian kepada orang-orang mukmin untuk mernungkan maknanya dan mengembalikan makna nya kepada orang yang berilmu, sehingga dia mendapat pahala yang besar.
7.   Pengertian i’jaz al-Quran, jenis-jenis i’jaz al-Quran
Akar kata I’jaz diambil dari mashdar dari kata ‘ajaza-yu’jizu-i’jazan yang berarti Tidak berdaya atau ketidakmampuaan seseorang akan sesuatu.
Sedangkan mukjizat berarti: Kejadian atau peristiwa luar biasa (khoriq al-‘adah) yang disertai tantangan (untuk menirunya), yang ada pada diri seseorang yang berasal dari Allah untuk menguatkan risalah yang diembannya
Sesuatu dapat dinilai sebagai mukjizat bila memiliki tiga aspek: Tantangan, untuk mengungguli atau setidaknya menyamai kemampuan yang dimilkinya, Kepastian tidak adanya orang lain yang mampu mengungguli atau menyamainya, Kesempatan bagi orang lain untuk mengungguli atau menyamainya.
Mukjizat dibagi dua kategori: Mu’jizat Indrawi (Hissiyyah); Mukjizat jenis ini diderivasikan pada kekuatan yang muncul dari segi fisik yang mengisyaratkan adanya kekuatan di luar nalar pada seorang nabi. Contohnya mukjizat laut yang dibelah oleh Nabi Musa, api menjadi dingin dalam kasus Nabi Ibrahim dan lainnya.. Mukjizat Rasional (’aqliyah) Mukjizat ini berupa kemampuan intelektual yang rasional seperti Al-Qur’an sebagai mukjizat Nabi Muhammad. Dan mukjizat ini akan terus belangsung hingga hari kiamat.
Meskipun al-Quran diklasifikasian sebagai mukjizat rasional ini tidak serta merta menafikan mukjizat-mukjizat fisik yang telah dianugerahkan Allah kepadanya untuk memperkuat dakwahnya
8.  Aspek Mukjizat Al-Qur’an;  Keindahan Bahasa dan Keindahan Redaksi Al-Qur’an ( I'jaz Lughowi)
Meskipun bangsa Arab telah memiliki tata bahasa yang tinggi nilai keindahannya (balaghah), mereka pun dikenal sangat baik dalam menyampaikan penjelasan penjelasan (al-bayan), keserasian dalam menyusun kata-kata, serta kelancaran logika.
Begitu pula ketinggian dalam bahasa dan sastra, karena sebab itulah Al-Quran menantang mereka agar bisa membuat satu ayat saja dari Al-Qur’an. Namun mereka tidak mampu melakukannya
9.  Aspek Penunujukan Ilmiah ( I'jaz Ilmi)
1.    Stimulasi Al-Quran kepada manusia untuk selalu berfikir keras atas dirinya sendiri dan memikirkan kejadian di alam semesta.
2.    Al-Quran dalam mengemukakan argument serta penjelasan ayat-ayat ilmiah, diantaranya:
A. Isyarat tentang Sejarah Tata Surya
Allah SWT berfirman: Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al-Anbiya: 30).
B. Isyarat tentang Fungsi Angin dalam Penyerbukan Bunga
Allah SWT berfirman: “Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya.” (QS. Al-Hijr: 22)
C. Isyarat tentang Sidik Jari manusia
Allah SWT berfirman: “Bukan demikian, Sebenarnya kami Kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna.” (QS Al-Qiyamah 4)
10.Aspek Sejarah dan  Berita Ghaib (I'jaz Tarikhiy)
  Sejarah generasi masa lampau.
  Kegaiban Masa Kini
Diantaranya terbukanya niat busuk orang munafik di masa Rasulullah. Allah Swt berfirman : Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, Padahal ia adalah penantang yang paling keras.(QS. Al-Baqarah: 204)
  Ramalan kejadian masa mendatang
Diantaranya ramalan kemenangan Romawi atas Persia di awal surat ar-Ruum.

11. Aspek Ketetapan Hukum ( I'jaz Tasyri'i)
Diantara hal-hal yang mencengangkan akal dan tak mungkin dicari penyebabnya selain bahwa al-Quran adalah wahyu Allah, adalah terkandungnya syari’at paling ideal bagi umat manusia, undang-undang yang paling lurus bagi kehidupan, yang dibawa al-Quran untuk mengatur kehidupan manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Meskipun memang banyak aturan hukum dari Al-Quran yang secara 'kasat mata' terlihat tidak adil, kejam dan sebagainya, tetapi sesungguhnya di balik itu ada kesempurnaan hukum yang tidak terhingga.
Diantara produk hukum Al-Quran yang menakjubkan antara lain :
1)        Hukuman Hudud bagi pelaku Zina, Pencurian, dsb (QS An-Nuur 2-3)
2)        Hukuman Qishas bagi Pembunuhan ( QS Al-Baqoroh 178-180)
3)        Hukum Waris yang detil (QS An- Nisa 11-12)
4)        Hukum Transaksi Keuangan dan Perdagangan.(QS. Al-Baqarah: 282
5)        Hukum Perang & Perdamaian. (QS Al-Anfal 61)
12. Pengertian nasikh mansukh, jenis nasikh mansukh, ayat yang dimansukh, perbedaan pendapat ulama tentang nasikh mansukh
Kata nasikh mempunyai arti bermacam; mengganti, memindahkan, menyalin atau menghapuskan. Namun dari arti-arti tersebut, nasikh mansukh dipahami sebagai “ayat-ayat yang menghapuskan atau membatalkan dan yang dihapuskan atau dibatalkan. Kejadian ini oleh para ahli dihubungkan dengan kekuasaan Tuhan untuk menghapuskan dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya.
Jenis nasikh ada beberapa; nasikh al-Quran dengan al-Quran, Sunah oleh al-Quran, Sunah oleh Sunah dan ada yang memeperbolehkan nasikh al-Quran oleh Sunah. Namun dalam pembicaraan ulum al-Quran tentu saja yang dimaksud adalah kategori pertama.
Nasikh- mansukh terdapat pro- kontra; kelompok pertama yang mengatakan bahwa nasakh ada dalam al-Quran, yaitu dari kalangan jumhur dan kalangan fuqaha. Kelompok kedua menolak adanya nasakh dalam al-Quran. Kelompok ini biasanya dinisbatkan kepada pengikut Mu’tazilah seperti Abu Muslim al-Asfhani. Tetapi bagaimanapun, ayat-ayat nasikh semakin hari semakin berkurang. Syah Waliyullah (seorang peneliti ulum al-Quran) dari 21 ayat yang dinyatakan oleh as-Suyuti yang mansukh hanya 5 yang menurutnya masih dikategorikan nasikh mansukh, yaitu; Mansukh; QS 58:12 dinasikh QS 58:13, mansukh QS 2:180 dinasikh QS 4:11 dan 12, mansukh QS 2:240 dinasikh QS 2:234, mansukh QS8:65 dinasikh QS 8:62 dan mansuh QS 33:50 dinasikh QS 33:52.

13. Pengertian terjemah, pengertian tafsir, syarat mufassir dan etika menafsirkan
Tafsir secara bahasa adalah; al-ibanat, al-kasyfu dan idzhar al-makna al-ma’qul. Secara istilah tafsir adalah ilmu yang membahas tentang tata cara pengucapan lafadz al-Quran, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya yang tunggal maupun yang berangkai, dan sekaligus penjelasan makna yang dikandung oleh lafadz dan tarkibnya. Kata tafsir hanya sekali digunakan dalam al-Quran, yakni dalam surat al-furqan (25) ayat 33. Tujuan tafsir adalah memperjelas makna kata-kata dan pemahaman teks al-Quran. Ia juga berfungsi untuk mengadaptasi al-Quran pada situasi penafsir. Dengan kata lain, tafsir tidak hanya memiliki aspek teoritis tetapi juga aspek praktis karena ia berusaha agar teks tersebut benar-benar berfungsi bagi prilaku para pengikutnya. Tafsir dibutuhkan karena ada persoalan makna yang tak terpecahkan, atau uraian yang tidak memadai, adanya kontradiksi internal teks atau adanya makna yang tak dapat diterima. Sedangkan terjemah adalah naqlu alfadz min lughatin ila lughat ukhra bi haitsu yakunu an-nudzum muwafiqan li an-nudzum, wa at-tartib muwafiqan li at-tartib, “memindahkan suatu kata dari satu bahasa ke bahasa lain dimana setiap susunan bahasa harus dijaga demikian pula dengan urutan katanya”. Ada juga yang mendefinisikan terjemah sebagai berikut; menjelaskan makna kalam dengan bahasa lain tanpa terikat oleh susunan kalimat bahasa aslinya. Dengan demikian, dari pengertian yang sudah dipaparkan dapat dibedakan antara tafsir dengan terjemah. Walaupun demikian, ada sebagian orang yang menganggap bahwa terjemah adalah bagian dari tafsir, karena bagaimanapun ketika seseorang menerjemahkan ke bahasa lain dia berusaha menjelaskan teks tersebut dengan bahasanya, sekaligus memberi peluang bagi munculnya perbedaan-perbedaan pengertian diantara bahasa asli dan bahasa terjemahan ketika diungkapkan.
Syarat mufassir antara lain; keyakinannya sehat, terlepas dari hawa nafsu, memulai penafsiran dengan al-Quran itu sendiri, baru dengan hadits, mengetahui dan memahami bahasa Arab dengan semua jenis cabang keilmuannya.dll.

14. Pembagian jenis tafsir, metode, sisitematika dan perkembangan tafsir dan kitabnya dari masa ke masa
Tahlili: Pengertian; Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat, kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al Qur’an. Dia menjelaskan kosa kata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur i’jaz, balaghah, dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu hukum fiqh, dalil syar’i, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, dan lain sebagainya. Ciri-ciri Metode Tahlili; Penafsiran yang mengikuti metode ini dapat mengambil bentuk ma'tsur (riwayat) atau ra'y (pemikiran). Di antara tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-Ma'tsur ialah Jami' al-Bayan an Ta'wil Ayi al-Qur'an karangan Ibnu Jaris at-Thabari (w. 310 H), Ma'alim al-Tazil karangan al-Baghawi (w. 516 H), Tafsir al-Qur'an al-Azhim (terkenal dengan tafsir Ibnu Katsir) karangan Ibnu Katsir (w. 774 H), dan al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma'tsur karangan al-Suyuthi (w. 911 H). Adapaun tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-Ra'y banyak sekali, antaralain : Tafsir al-Khazin karangan al-Khazin (w. 741 H)n Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta'wil karangan al-Baydhawi (w. 691 H), al-Kasysyaf karangan al-Zamakhsyari (w. 538 H), 'Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Qur'an karangan al-Syirazi (w. 606), al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib karangan al-Fakr al-Razi (w. 606 H), al-Jawahir fi Tafsir al-Qur'an karangan Thanthawi Jauhari, Tafsir al-Manar karangan Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935 H), dan lain-lain.
Metode ijmali (global) ialah mencoba menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas dan padat, tetapi mencakup (global). Metode ini mengulas setiap ayat al-Qur’an dengan sangat sederhana, tanpa ada upaya untuk memberikan pengkayaan dengan wawasan yang lain, sehingga pembahasan yang dilakukan hanya menekankan pada pemahaman yang ringkas dan bersifat global.
Ciri khas metode ijmali, antara lain. Pertama, mufasir langsung menafsirkan setiap ayat dari awal sampai akhir, tanpa memasukkan upaya perbandingan dan tidak disertai dengan penetapan judul, seperti yang terjadi pada metode komparatif (muqaran) dan metode maudhu’i (tematik).
Kedua, penafsiran yang sangat ringkas dan bersifat umum, membuat metode ini lebih sanat tertutup bagi munculnya ide-ide yang lain selain sang mufasir untuk memperkawa wawasan penafsiran. Oleh karena itu, tafsir ijmali dilakukan secara rinci, tetapi ringkas, sehingga membaca tafsir dengan metode ini mengesankan persis sama dengan membaca al-Qur’an.
Ketiga, dalam tafsir-tafsir ijmali tidak semua ayat ditafsirkan dengan penjelasan yang ringkas, terdapat beberapa ayat tertentu (sangat terbatas) yang ditafsirkan agak luas, tetapi tidak sampai mengarah pada penafsiran yang bersifat analitis. Artinya, walaupun ada beberapa ayat yang ditafsirkan agak panjang, hanya sebatas penjelasan yang tidak analitis dan tidak komparatif.
Metode muqarin: Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyek yang diperbandingkan itu.
Metode Maudhui (tematik);
15.  Tafsir maudhui dan cara kerjanya
Metode Maudhui (tematik); metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.
Langkah-langkah metode mawdhu'iy: 1) Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik); 2) Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut; 3) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzul-nya; 4) Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing; 5) Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (outline); 6) Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan; 7) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang 'am (umum) dan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan
16. Ayat-ayat tentang Tuhan
Hapalkan surat al-Baqarah: 255; QS al-Hasyr: 22-24, hubungkan dengan surat al-fatihah dan al-ikhlas; terjemahkan dan tafsirkan serta beri kesimpulan.
17. Ayat-ayat tentang penciptaan Alam
Hapalkan: ayat-ayat tentang penciptaan awal dunia (QS al-Anbiya: 30), ayat tentang akhir alam semesta (QS al-Anbiya: 104), ayat tentang langit yang senantiasa hari demi hari berkembang ke segala arah dengan kecepatan yang luar biasa (the expanding universe) (QS ad-Dzariyat: 47) terjemahkan, tafsirkan serta beri kesimpulan.
18. Ayat-ayat tentang proses Reproduksi Manusia
Hapalkan: ayat-ayat tentang reproduksi manusia dalam surat al-mukminun: 12-15, al-Insan: 2, al-Qiyamah: 36-39, an-Najm: 45-46, terjemahkan, tafsirkan serta beri kesimpulan.
19. Ayat-ayat tentang hujan dan pemisah dua lautan
Hapalkan ayat tentang proses terjadinya hujan; QS an-Nur: 43, al-Ahqaf: 24 dan al-Hijr 22. Terjemahkan, tafsirkan serta beri kesimpulan.

E.  PENGANTAR STUDI ISLAM
1.        Apa yang dimaksud dengan Pengantar  Studi  Islam  (PSI)? Jelaskan tujuan mempelajarinya dan urgensi studi ini bagi kaum Muslim dan para penstudi Islam
Pengantar  Studi  Islam  (PSI) adalah suatu  ilmu  yang  membahas  tentang cara mengkaji Islam, baik  dari dimensi normatif,  dimensi historis, maupun  dimensi aktualnya. Di dalam istilah  penelitian, sering dikenal dengan  istilah approach (pendekatan). 
Secara umum, PSI bertujuan: (1) Menjadikan umat Islam dapat memahami berbagai.metode yang telah  digunakan oleh  para ilmuwan  muslim dalam  mengkaji Islam  sehingga menimbulkan kesimpulan yang beragam. Pemahaman terhadap adanya keragaman  metode dengan berbagai  kelemahan dan  kekurangannya dapat  menumbuhkan sikap toleransi yang pada gilirannya menumbuhkan sikap kerukunan internal umat beragama  Islam. (2) Menciptakan kontekstualisasi doktrin Islam secara temporal sehingga  doktrin Islam akan  tampak selalu  aktual di  dalam kehidupan  sosiokultural yang dinamis.  Hal ini  lebih memungkinkan  karena para  ilmuwan   muslim kontemporer tidak  perlu  ragu  lagi  untuk  memanfaatkan  sebuah  metoda  kajian untuk mengkaji  al-Islam  karena   pada  masa  lalu   para  ilmuwan  muslim   pun telah mempergunakan metode  itu untuk  mengkaji al-Islam. 
Secara   khusus  - di  dunia  perguruan  tinggi-PSI bertujuan agar  seorang  mahasiswa   dapat memahami perkembangan  pemikiran metodologi  yang telah dikembangkan oleh   para ilmuwan muslim masa klasik  dalam mengkaji al-Islam, baik sebagai   upaya memurnikan ajaran Islam dari  unsur-unsur   yang    merusak   adat      al-Islam maupun     sebagai    upaya    untuk  mengontekstualisasikan   doktrin  al-Islam itu  sendiri.  Pada  gilirannya, para mahasiswa yang  akan menjadi  ilmuwan  muslim masa   datang akan  menjadi sarjana  muslim  yang  sangat  toleran  terhadap perbedaan pandangan   antarsesama sarjana  muslim  yang   lain,  bahkan   dengan nonmuslim   sekalipun. 
Urgensinya adalah untuk mengenalkan berbagai pendekatan dalam belajar Islam. Perbedaan pendekatan bukan berarti keluar dari Islam.  
2.        Sebutkan tiga makna utama dari kata "Islam"!.
Kata  "Islam"  mempunyai   arti   atau  makna  yang   bermacam-macam,  tetapi mengandung kesatuan  arti/makna.  Pengertian  umum yang mendasar adalah penyerahan diri atau pasrah   kepada Tuhan dengan segala bentuk  dan realisasinya. 
Tiga makna yang utama adalah:  Pertama, "Islam"   berasal dari    kata al-salamu,   al-salmu, dan  al-silmu, yang berarti : menyerahkan   diri, pasrah, tunduk  dan  patuh.  Dengan demikian "Islam" mengandung  makna  sikap  penyerahan  diri,  pasrah, tunduk   dan  patuh dari   manusia  terhadap   Tuhannya, atau   makhluk  (ciptaan)   terhadap Khaliq (Pencipta),  Tuhan  Yang Maha  Esa.  Sikap tersebut  tidak  hanya berlaku   bagi hambaNya  (manusia), tetapi  juga merupakan  hakikat dari  seluruh alam,   yaitu sikap  penyerahan  diri,  pasrah,  tunduk  dan  patuh  pihak  ciptaan  {makhluk} kepada Penciptanya  (Khaliq), yaitu  Allah. Langit  dan bumi  (benda-benda mati) adalah taat, patuh  dan pasrah  (islam}  kepada  Tuhan (Baca: Q.S. Fushilat: 11),  demikian  pula  segala   apa yang   ada  di  langit  dan   di bumi,   baik berupa benda   mati   maupun  benda  hidup   (Q.S.al-Nahl:  49  dan   Ali lmran: 83). Semua  makhluk, baik  berupa benda    mati  maupun   benda hidup,  berjalan secara alami,  teratur,  seimbang,   mengikuti ketentuan    Tuhan yang    berupa 'hukum alam'  {sunnatullah).   Sehingga   hukum-hukum  itu   dijadikan   pedoman dan kemudian digunakan  oleh    manusia  dalam  pengembangan  ilmu   pengetahuan dan teknologi.
Kedua, "Islam"  berasal  dari  kata al-silmu  atau al-salmu yang  berarti  damai (perdamaian) dan aman (keamanan). Hal  ini mengandung  makna bahwa orang    yang ber-Islam,  berarti   orang  yang masuk  dalam  perdamaian   dan keamanan,   dan seorang  muslim adalah   orang yang membikin  perdamaian  dan  keamanan   dengan Tuhan,  sesama  manusia,  dirinya dan  dengan alam. Damai  dengan  Tuhan berarti tunduk  dan patuh  secara  menyeluruh kepada KehendakNya. Damai  dengan  manusia tidak hanya  berarti meninggalkan   perbuatan jelek dan tidak  menyakitkan orang lain,  tetapi juga  berbuat baik   kepada orang  lain, karena  manusia  tidaklah terlepas dari ketergantungannya kepada yang  lain. Damai dengan dirinya  sendiri berarti selalu memelihara diri dan menjaganya  dari berbagai  macam ancaman  dan siksaan  atau  penderitaan,  apakah   berupa  penyakit  jasmani  maupun  rohani, atau lain-lainnya.   Sedangkan damai   dengan  alam  berarti   memelihara, memakmurkan  dan membudayakan  alam, serta  memanfaatkannya selaras dengan sifat dan kondisi   dari  alam   itu sendiri,    dan tidak   merusaknya atau melanggar hukum-hukum  alam  (sunnatullah).  Pengertian  itu  dapat  difahami dari  firman Allah dalam  Q.S.  al-Baqarah  ayat 208;    al-Nisa' ayat 91;  al-Tahrim ayat 5; al-Anbiya  ayat  105-107.  Pengertian  ini   merupakan  konsekwensi  dari  makna al-Islam   yang    berarti   'penyerahan  diri   atau   pasrah'    kepada Tuhan.
Ketiga, "Islam" berasal dari kata-kata al-salmu, al-salamu, dan al-sala'matu,  yang berarti   bersih   dan  selamat    dari kecacatan-kecacatan    lahir  dan batin. Pengertian ini  antara  lain  dapat difahami   dari firman  Allah  dalam Q.S. al-Syu'ara  ayat  89,  Q.S.  al-Shaffat   ayat  84.  Manusia   terdiri   atas  dua substansi,  yaitu  jasad  dan  roh. Jasad   manusia tunduk,   patuh dan   pasrah kepada   sunnatullah atau    aturan-aturan   Allah  yang  berlaku  di     alam, sedangkan     roh  manusia    sudah  melakukan    perjanjian primordial   dengan Tuhan dan  siap  untuk tunduk,  patuh  dan  pasrah kepadaNya.  Sehingga  manusia pasti   mampu   melaksanakan   tugasnya  sebagai    hamba  Allah,  yang   selalu tunduk,   mengabdi    dan    menyembah    kepadaNya.   Semuanya    itu merupakan fitrah  bagi manusia.  Selama  manusia senantiasa  menjaga  diri  dan memelihara fitrahnya, serta pilihannya mengarah  kepada pilihan baiknya (pahala),  maka dia akan   bersih dan  selamat  dari  kecacatan-kecacatan lahir   maupun batin,  dan selamat  dunia-akhirat. Sebaliknya,  kalau manusia  dalam perjalanan    hidupnya menyimpang dari fitrahnya, dan  pilihan hidupnya mengarah pada  pilihan buruknya (dosa), maka  dia akan  sengsara, tidak  selamat, dan  tidak bahagia    hidupnya lahir-batin, dunia-akhirat.


3.        Apakah yang dimaksud kebudayaan Islam? Antara budaya sebagai hasil karya, karsa, dan cita-cita manusia, dan Islam sebagai agama, dapatkah disandingkan?
Agama dan budaya adalah dua bidang yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak, tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan budaya, sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sebagian besar budaya didasarkan pada agama; tidak pernah terjadi sebaliknya. Oleh karen a itu, agama adalah primer, dan budaya adalah sekunder. Budaya bisa merupakan ekspresi hidup keagamaan, karena ia subordinat terhadap agama, dan tidak pernah sebaliknya.
Dalam pandangan Harun Nasution, agama pada hakikatnya mengandung dua kelompok ajaran. Kelompok pertama, ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan melalui para rasul-Nya kepada masyarakat manusia. Ajaran dasar ini terdapat dalam kitab-kitab suci. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci itu memerlukan penjelasan, baik mengenai arti maupun cara pelaksanaannya. Penjelasan-penjelasan ini diberikan oleh para pemuka atau ahli agama. Penjelasan-penjelasan mereka terhadap ajaran dasar agama adalah kelompok kedua dari ajaran agama. Kelompok pertama, karena merupakan wahyu dari Tuhan, bersifat absolut, mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Kelompok kedua, karena merupakan penjelasan dan hasil pemikiran pemuka atau ahli agama, pada hakikatnya tidaklah  absolut, tidak mutlak benar, dan tidak kekal. Kelompok kedua ini bersifat relatif, nisbi, berubah, dan dapat diubah sesuai dengan perkembangan zaman. Menurut hasil penelitian ulama, jumlah kelompok pertama tidak banyak.
Pada umumnya, yang banyak adalah kelompok kedua. Dalam Islam, kelompok pertama terdapat dalam al-Qur'an. Al-Qur'an terdiri atas 30 (tiga puluh) juz, 114 (seratus empat belas) surat, dan sekitar 6.000 (enam ribu) ayat. Ayat hukum hanya berjumlah 368 ayat. Harun Nasution berkesimpulan bahwa dari 368 ayat ini, hanya 228 ayat atau 3,5% (tiga setengah persen) yang merupakan ayat yang mengurus hidup kemasyarakatan. Dengan demikian, jumlah ayat yang mengatur hubungan kemasyarakatan sedikit saja. Ajaran dasar agama pada al-Qur'an dan Sunah yang periwayatannya shahih bukan termasuk budaya. Tetapi pemahaman ulama terhadap ajaran dasar agama merupakan hasil karsa ulama. Oleh karena itu, ia merupakan bagian dari kebudayaan. Akan tetapi, umat Islam meyakini bahwa kebudayaan yang merupakan hasil upaya ulama dalam memahami ajaran dasar agama Islam, dituntun oleh petunjuk Tuhan, yaitu Al-Quran dan Sunah. Oleh karena itu, ia disebut kebudayaan Islam.
4.        Bagaimana Nabi Muhammad s.a.w., sebagai pembawa risalah agama Islam, melakukan pemecahan masalah? Lalu bagaimana para ulama penerus risalahnya memecahkan masalah umat?
Dengan menggunakan   cara   yang   berbeda-beda sesuai kemampuan audiens atau pengaju masalah. Perbedaan telah terjadi sejak masa Nabi Muhammad saw., masih hidup, namun waktu itu Rasul  mampu meredam gejolak perbedaan pemikiran itu. Oleh karena itu,  konflik  antara  satu sahabat dan  sahabat  lainnya  secara  maksimal dan komprehensif dapat  diredam. Dimaklumi bahwa pada  masa itu, selain  karena Nabi masih memperoleh  wahyu dari Tuhan Yang  Maha Esa  sehingga  segala permasalahan yang terjadi dalam  memahami Islam  dapat  dikembalikan  langsung  kepada  Rasulullah  saw.  sekaligus  dapat dijadikan pegangan  dalam memberikan solusi pada masa  itu, juga secara   khusus Nabi   Muhammad  saw.   diberi   kemampuan   rasio  yang  cemerlang,   melampaui kecemerlangan  rasio  seluruh  manusia genius   yang pernah  ada  di  dunia  ini sehingga  hasil  kajiannya  mendalam. Nabi  dapat  memuaskan  berbagai  pihak  yang sedang konflik. Bahkan, seperti ditulis dalam sejarah, Nabi Muhammad saw.  mampu mendamaikan  dua  komunitas  yang  saling  bersengketa  seumur  hidup  secara memuaskan. Secara historis, para ulama sangat  beragam dalam menggunakan  metode pemahaman Islam.  Masing-masing   cara  yang   digunakan   oleh   para  ulama   itu   bahkan   mempunyai karakteristiknya masing-masing. Dari  masing-masing karakter itu,  tampak adanya kekurangan  dan  kelebihan. Namun,  ada pula sebagian ulama  dengan kecenderungan antusiasme berlebihan  menganggap  bahwa  hanya caranya  sendiri yang  paling  benar.  Padahal,   dengan berbedanya  metode  yang  digunakan  oleh satu  ulama  dengan  ulama  lain telah menjadikan berkembangnya kesimpulan kajian mereka yang berbeda. Dari sinilah, tampak antara satu ulama dengan ulama lainnya saling menyalahkan. Dalam kondisi tertentu  sering menimbulkan  sikap saling  mengafirkan. Dan  pada skala tertentu  sikap  semacam  itu  bahkan  telah  menimbulkan   konflik    pemikiran internal   umat  Islam. Kondisi   semacam    ini  sebenarnya  secara   ilmiah  justru  dapat  memperkaya khazanah  intelektual   Islam.  Namun, ketika  konflik  ini    telah menimbulkan perpecahan  karena   saling  menghujat dan   menumpahkan   darah,   justru telah merugikan    Islam.
Salah satu  risalah KH Hasyim Asy'ari, yang berjudul  al-Risalah fi al-Nahy  'an Muqala 'ill  al-Arham wa   al-Qarub wa  al-Ikhwan, menyebut  mengenai dilarangnya  bagi  kita  untuk  memutuskan  tali  persaudaraan  hanya karena perbedaan faham.  Misalnya, dalam  risalah itu  disebutkan, bahwa  antara Imam Syafi'i (w.204 H) dengan gurunya  berbeda pendapat sekitar seribu masalah.  Dan antara  Abu Hanifah  (w.150 H)  H) dengan  Imam Malik  (w.179 H), yang keduanya di dalam perbendaharaan pemikiran Islam perbedaan  antara Ahl Ra'yi dengan  Ahl Riwayah, berbeda pendapat sekitar tiga belas ribu masalah. "Tetapi,"  Hasyim Asy'ari  mengatakan,  "Tidak  ada  saling  permusuhan,  saling mengumpat,  dan tidak   ada saling menyatakan  bahwa orang lain  sebagai sesat." Bayangkan saja, berbeda  tiga belas ribu  masalah.  Oleh karena  itu,  jika kita berbeda  pendapat dengan  siapa saja, jika perbedaannya  kurang dari seribu, itu bukan apa-apa dibandingkan  antara Syafi'i dengan gurunya; belum lagi antara Imam Hanafi dengan Imam Malik
5.        Sebutkan dalil-dalil syara'  atau sumber-sumber hukum yang dipegangi oleh empat mazhab terkemuka dalam hukum Islam.
Bila diperhatikan,   Ushul Fikih  dari keempat  mazhab fikih  yang berkembang di  kalangan kaum Muslimin,  yaitu  mazhab  Hanafi,  Maliki,  Syafi'i,  dan  Hanbali,  memiliki  perbedaan  tentang  dalil-dalil syara'  yang mereka  pegangi.   Dalil-dalil syara'  yang dipegang  oleh  mazhab  Hanafi  adalah   al-Quran,  sunnah,  ijma'  sahabat,  kias,  istihsan,  dan 'urf. Mazhab  Maliki  berpegang    pada al-Quran,   sunnah,   ijma'   ahl  al-madinah,   fatwa  sahabat,  khabar   ahad dan  kias,   istihsan,   istishlah,   sadd   al-zara'i',   mura'at  khilaf   al-mujtahidin,  istishbab,  dan   syar'  man   qablana.  Sedangkan    dalil-dalil syara'    yang   dipegang   oleh     mazhab    Syafi'i     adalah     al-Quran, sunnah,  ijma’,    kias,  istishlah,  dan  istishhab.  Adapun  mazhab  Hanbali berpegang pada al-Quran,  sunnah,  fatwa    sahabat,  dan     kias.
6.        Jelaskan perdebatan para ulama tentang penamaan kitab suci agama Islam, al-Qur’an.  
Terdapat perdebatan ulama mengenai penamaan Al-Quran. Pertama, sebagian ulama berpendapat bahwa Al-Qur'an adalah nama yang khusus (khas) bagi Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Kedua, sebagian ulama lagi menyatakan bahwa Al-Qur'an diambil dari kata qara'in (petunjuk atau indikator) karena ayat-ayat Al-Qur'an satu sama lainnya saling menguatkan dan membenarkan. Al-Qur'an pun, masih menurut pendapat kedua. diambil dari kata al-qar'u yang berarti kumpulan (al-jam'). Ketiga, ulama yang lainnya memberikan nama lain bagi Al-Qur'an seperti al-Kitab, al-Nur, al-Rahmah, al-Furqan, al-Syifa, al-Mauizhah, al-Dzikr, al-Hukm, al-Qaul, al-Naba', al-Azhim, Ahsan al-Hadits, al-Matsany, al-Tanzil, al-Ruh, al-Bayan, al-Wahy wa al-Bashir, al-‘Ilm, al-Haqq, al-Shidq, al-Adl, al-Amr, al-Basyary, dan al-Balagh. Nama-nama lain untuk Al-Qur'an dikembangkan oleh ulama sedemikian rupa, sehingga Abu Hasan al-Harali dan Abd al-Ma'ali Syaizalah masing-masing memberikan nama sebanyak 90 dan 55 macam. Pemberian nama terhadap Al-Quran yang begitu banyak tidak disetujui oleh sebagian ulama, antara lain Shubhi Shalih. Menurutnya, pemberian nama yang banyak terhadap Al-Qur'an dinilai berlebihan sehingga terkesan adanya pencampuradukan antara nama-nama Al-Qur'an dan sifat-sifatnya. Sebagian nama-nama tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, memperlihatkan fungsi-fungsi Al-Qur'an.
7.        Jelaskan hikmah diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur
Dilihat dari sejarah dan proses pewahyuan, Al-Quran memang tidak diturunkan secara sekaligus, tetapi melalui tahapan-tahapan tertentu secara periodik, sedikit demi sedikit dan ayat demi ayat. Hikmah pewahyuan semacam ini adalah untuk memberikan pemahaman bahwa setiap ayat Al-Quran tidak hampa sosial.  Pewahyuannya sangat bergantung pada lingkup dan persoalan-persoalan kemasyarakatan. Dari aspek ini, sebagian ayat Al-Qur'an merupakan jawaban terhadap berbagai persoalan sosial yang melanda kehidupan manusia. Tenggang waktu pewahyuan berlangsung selama kurang lebih 23 tahun yang secara geografis terbagi dua fase. Pertama, ketika Nabi Muhammad Saw berada di Kota Mekah sebelum berhijrah ke Madinah, yaitu selama 13 tahun. Kedua, ketika Nabi Muhammad berada di kota Madinah selama 10 tahun. Pendapat ini umumnya dipegang oleh para ulama 'ulum al-Qur'an.
8.        Jelaskan secara singkat perkembangan studi al-Qur’an hingga masa modern.
Ulama membagi periode tafsir kepada dua bagian. Pertama, periode nabi, sahabat dan tabi'in sampai kira-kira tahun 150 H. Kelompok tafsir periode itu disebut tafsir bi al-ma’tsur, Corak tafsir ini bersumber pada penafsiran Rasulullah, penafsiran sahabat, dan penafsi tabi'in. Periode pertama ini disebut juga dengan Periode Mutaqaddimin. Para ahli tafsir pada masa sahabat yang terkenal di antaranya al-Khulafa' al-Rasyidun yang empat, Ibnu Mas'ud, Abd Allah bin Abbas (68 H), Ubay bin  Ka'ab (19 H), Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy'ary, dan Abd Allah bin Zubair. Di antara mereka, yang paling terkenal ialah Abd Allah bin Abbas. Tafsir para sahabat selanjutnya dijadikan rujukan oleh para murid-muridnya (tabi'in) sehingga lahirlah tabaqat al-mufassirin (tingkatan para     penafsir). Di Mesir muncul thabaqat yang tafsirnya merujuk pada tafsir Abdullah bin Abbas. Di Madinah muncul thabaqat lain, seperti Zaid bin Tsabit, Abd al-Rahman bin Salam, dan Imam Malik bin Anas. Di Kufah muncul thabaqat  yang bersumber dari Ibnu Masud. Dari masa tabiin beralih ke masa tabi' al tabi’in. Di antara mereka yang  terkenal adalah Sufyan bin Uyainah, Zaid bin Harun, Syu'bah bin Hajjaj, dan Waqi al-Jarrah sarnpai akhirnya muncul Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari (w.310 H) dengan karya tafsirnya Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an yang merupakan kelompok tafsir bi al-ma'tsur.
Kedua, periode ketika hadis-hadis Rasul Allah telah beredar luas dan berkembang hadis-hadis palsu di tengah-tengah masyarakat sehingga menimbulkan banyak persoalan yang belum terjadi sebelumnya. Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, para mufasir mulai berijtihad. Kegiatan      ijtihad pada mulanya masih terikat pada kaidah-kaidah bahasa serta makna kosakata. Namun, sejalan dengan berkembangnya masyarakat, peran akal dalam berijtihad menjadi lebih subur. Ujungnya, lahir tafsir yang coraknya berbeda dengan tafsir corak pertama .
Periode kedua disebut sebagai Periode Muta'akhirin yang berlangsung antara abad ke-4 sampai abad ke-12 Hijriyah.  Corak tafsir yang muncul pada periode kedua di antaranya sebagai berikut.
  1. Corak kebahasaan, artinya Al-Quran ditafsirkan melalui pendekatan gaya dan keindahan bahasa, seperti Tafsir al-Kasysyaf yang ditulis oleh Zamakhsyari. Masih tafsir yang bercorak kebahasaan, tetapi melalui pendekatan tata bahasa adalah Tafsir Ma'ani al-Qur'an dan Tafsir al-Bahr al-Muhith yang secara berturut-turut ditulis oleh al-Ziyad al-Wahidi dan Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf al-Andalusy.
  2. Corak tafsir yang bahasanya menitikberatkan pada kisah-kisah umat terdahulu, seperti yang ditulis oleh al-Tsa’labi,  Alaudin bin Muhammad al-Bagdadi.
  3. Corak fikih dan hukurn, seperti Tafsir Jami' al-Qur'an, Ahkam al-Qur’an, dan Nail al-Maram yang masing-masing ditulis oleh al-Qurthubi, Ibnu 'Arabi dan al-Jashash, dan Hasan Shidiq Khan.
  4. Corak tafsir yang menafsirkan ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah Swt, seperti Tafsir Mafatih at-Ghaib karya Imam al-Razi (w. 610 H).
  5. Corak tafsir yang menitikberatkan pada isyarat ayat yang berhubungan dengan tasawuf, seperti tafsir yang ditulis oleh Abu Muhammad Sahl bin Abd Allah al-Tsauri.
  6. Tafsir corak gharib (yang jarang dipakai dalam keseharian), seperti tafsir yang disusun oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi, yaitu Mu'jam Gharib al-Qur'an.
Di samping keenam corak tafsir di atas, terdapat corak tafsir yang lain, yaitu tafsir bercorak filsafat dan teologi, tafsir dengan penafsiran ilmiah, tafsir yang bercorak sastra budaya kemasyarakatan, tafsir tematik (maudlu'i), dan tafsir ilmi.
Masih dalam periode kedua atau periode muta’akhirin, lahir pula tafsir dari kalangan Muktazilah dan Syiah. Tafsir dan kalangan Muktazilah di antaranya ialah Tanzih al-Qur'an 'an al-Mata'in karya Abd al-Qasim al-Thahir, al-Kasysyaf 'an Haqa'iq al- Tanzil wa Uyun al-Aqwal fi Wujud al-Ta’wil karya Abu al-Qasim Muhammad bin Umar al-Zamaksyari. Kelompok Syiah juga menulis banyak kitab tafsir yang bahasannya lebih menitikberatkan pada Ali bin Abi Thalib.
Masih perlu ditambahkan satu periode lagi mengenai perkembangan tafsir, yaitu periode ketiga yang disebut Periode Baru yang dimulai abad ke-19 M. Dalam sejarah perkembangan pemikiran umat Islam, periode ini dikenal dengan Periode Kebangkitan Kembali. Pada periode ini muncul tokoh-tokoh pembaru seperti Jamalud din al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ahmad Khan, dan Ahmad Dahlan.
Kelahiran para pembaru berpengaruh terhadap karya tafsir mereka. Tafsir yang ditulis pada periode ini di antaranya al-Manar yang mulanya ditulis oleh Muhammad Abduh lalu diselesaikan oleh muridnya, Rasyid Ridha, Tafsir Mahasin al-Ta'wil karya Jamal al-Din al-Qasimi, dan Tafsir Jawahir karya Thanthawi Jauhari.
Dilihat dari keterlibatan akal (ra'yu) dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, tafsir terbagi dua kelompok, tafsir bi al-ma'tsur dan tafsir bi al-ra'y. Tafsir kelompok pertama di antaranya ialah Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an karya al- Thabari, Bahr al-‘Ulum karya Nashr bin Muhammad al-Samarkand, al-Kasyf wa al-Bayan 'an Tafsir al-Qur'an karya Abu Ishaq al-Tsalabi, Ma'alim al-Tanzil karya Muhammad al-Hasan al-Bagawi, al-Muharrir al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-Aziz karya Muhammad al-Andalusi.
Adapun tafsir kelompok kedua (bi al-ra'y) di antaranya al-Bahrul al-Muhith karya al-Andalusi, Gharib al-Qur'an wa Raghib al-Furqan karya Nizamuddin al-Naisabur, Ruh al-Ma'ani fi Tafsir al-Qur'an al-'Azhim wa at-Sab’ al-Matsani karya al-Allamah al-Lusi, dan Mafatih al-Ghaib karya Fakhr al- Din al-Razi.
9.        Jelaskan perbedaan istilah-istilah al-hadits, al-sunnah, al-khabar, dan al-atsar
Dalam arti terminologi, ketiga istilah tersebut menurut kebanyakan ulama hadits adalah sarna dengan terminologi al-hadits, meskipun ulama lain ada yang membedakannya.
Menurut ahli bahasa, al-hadits adalah al-jadid (baru), al-khabar (berita), dan al-qarib (dekat). Hadis dalam pengertian al-khabar dapat dijumpai di antaranya dalam surat al-Thur [52] ayat 34, surat al-Kahfi [18] ayat 6, dan surat al-Dluha [93] ayat 11.
Dalam mengartikan al-hadits secara istilah atau terminologi, antara ulama hadits dan ulama ushul fiqh terjadi berbeda pendapat. Menurut ulama hadits, arti hadits adalah sesuatu yang disandarkan kepada nabi saw., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun sifat.  Sedangkan ulama ahli ushul fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadits adalah segala yang bersumber dari Rasulullah Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat khalaqah atau khuluqiyah maupun perjalanan hidupnya sebelum atau sesudah ia diangkat menjadi rasul.
Al-khabar secara bahasa berarti al-naba’ (berita); sedangkan al-atsar berarti pengaruh atau sisa sesuatu (baqiyat al-syai'). Arti terminologi al-khabar dan al-atsar, menurut jumhur ulama, memiliki arti yang sarna, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., sahabat, dan tabi'in. Sedangkan menurut ulama Khurasan, al-atsar hanya untuk yang mauquf (disandarkan kepada sahabat) dan al-khabar untuk yang marfu' (disandarkan kepada Nabi). Oleh karena itu, baik al-hadis, al-sunnah, al-khabar, maupun al-atsar dilihat dari aspek penyandarannya ada yang marfu', mauquf, dan maqthu’ (disandarkan kepada tabi'in).
Terhadap keempat pengertian istilah di atas al-hadis, al-sunnah, al-khabar dan al-atsar terutama aspek makna terrninologinya, ada ulama yang mempersamakan artinya, ada pula yang membedakannya. Ulama yang membedakan arti keempat istilah tersebut mengatakan bahwa al-hadits adalah sesuatu yang sandarannya adalah Nabi Muhammad saw., sedangkan al-sunnah adalah sesuatu yang sandarannya tidak hanya Nabi Muhammad saw, tetapi juga sahabat dan tabi'in.      Adanya perbedaan makna terminologi keempat istilah di atas, sebenarnya, tidaklah prinsipil. Keempat istilah tersebut mengacu pada pengertian yang sama, yaitu segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir.
10.    Jelaskan secara singkat sejarah penulisan dan kodifikasi hadits.
Penulisan resmi hadis dalam kitab-kitab hadits, seperti dijumpai sekarang baru dimulai pada masa Bani Umayah, yaitu pada zaman Umar bin Abd al-Aziz. Penulisan secara resmi (kodifikasi) atau disebut juga tadwin, dimulai setelah adanya perintah dari Khalifah Umar bin Abd al-Aziz kepada para pakar hadis untuk menuliskannya.
Para ulama hadis tidak sependapat dalam menentukan jumlah periodisasi hadits. Ada yang membaginya menjadi tiga periode, lima periode, bahkan tujuh periode. Di bawah ini adalah periodisasi hadis secara garis besar.
Periode pertama adalah periode Nabi dan disebut Masa Wahyu dan Pembentukan ('ashr al-wahy wa al-takwin). Pada periode ini, Nabi melarang para sahabat menulis hadis, karena di samping adanya rasa takut bercampur antara hadis dan Al-Qur'an, juga agar potensi umat Islam lebih tercurah kepada Al-Qur'an. Namun, walaupun ada larangan, sebagian sahabat ada juga yang berinisiatif menuliskannya untuk berbagai alasan." Pada masa ini, para sahabat menerima hadis dari Nabi melalui dua cara: langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara lansung di antaranya melalui ceramah atau khutbah, pengajian, atau penjelasan terhadap pertanyaan yang disampaikan kepada Nabi. Adapun yang tidak langsung di antaranya mendengar dari sahabat yang lain atau mendengar dari utusan-utusan, baik utusan dari Nabi ke daerah-daerah atau utusan dari daerah yang datang kepada Nabi. Ciri utama periode ini ialah aktifnya para sahabat dalam menerima hadis dan menyalinnya secara sendiri-sendiri. Di samping itu, sahabat menerima hadis dan menyampaikannya kepada yang lain melalui kekuatan hafalan. Para sahabat yang banyak menerima hadis ialah khulafa rasyidun, Abd Allah bin Mas’ud, Abu Hurairah, Anas bin Malik, Siti Aisyah, dan Ummu Salamah.
Periode kedua adalah zaman khulafa rasyidun. Masa ini dikenal dengan periode pembatasan hadis dan penyedikitan riwayat (zaman al-tatsabut wa al-iqlal min al-riwayah). Usaha-usaha para sahabat di dalam membatasi hadis dilatarbelakangi oleh rasa khawatir akan terjadinya kekeliruan. Kekhawatiran muncul karena suhu politik umat Islam secara internal mulai labil, terutama dalam suksesi kepemimpinan yang selalu menimbulkan perpecahan bahkan fitnah. Oleh karenanya, para sahabat sangat berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadis. Mereka melakukan meriwayatan hadis dengan dua cara: lafdzi dan ma'nawi. Periwayatan bi al-lafdz adalah redaksi hadis yang diriwayatkan betul-betul sama dengan yang disabdakan oleh Nabi. Adapun periwayatan ma'nawii ialah redaksi hadis yang diriwayatkan berbeda dengan yang disabdakan Nabi, tapi substansinya sama.
Periode ketiga adalah penyebaran hadits ke berbagai wilayah (zaman intisyar al-riwayat ila al-amshar) yang berlangsung pada masa sahabat kecil dan tabi'in besar. Pada masa ini, wilayah Islam sudah sampai ke Syam (Suriah), Irak, Mesir, Persia, Samarkand, dan Spanyol. Bertambah luasnya wilayah berdampak kepada menyebarnya hadis ke wilayah-wilayah tersebut yang dibawa oleh para sahabat yang pindah ke wilayah-wilayah tadi untuk menjadi pimpinan atau menjadi guru (pengajar) di sana. Di antara tokoh-tokoh hadis pada masa ini ialah Sa'id dan Urwah di Madinah, Ikrimah dan Atha bin Abi Rabi'ah di Mekkah, Ibrahim al-Nakha'i di Kufahl Muhammad bin Sirin di Bashrah, Umar bin Abd al-Aziz di Syam, Yazid bin Habib di Mesir, dan Wahab bin Munabih di Yaman.
Periode keempat adalah periode penulisan dan pembukuan hadis secara resmi ('ashr al-kiiabai wa al-tadwin). Penulisan dimulai setelah ada perintah resmi dari khalifah Umar bin Abd al-'Aziz (717-720 M) sampai akhir abad ke-8 M. Ia adalah khalifah Bani Umayah kedelapan yang menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin' Amr bin Hazrn, Gubernur Madinah untuk menulis hadis. Latar belakang Umar bin Abd al-Aziz menginstruksikan untuk mengkodifikasi hadits adalah bercampurbaurnya hadits sahih dengan hadits palsu, di samping rasa takut dan khawatir lenyapnya hadis-hadis dengan meninggalnya para ulama dalam perang. Pentadwinan terus berlangsung sampai masa Bani Abbas sehingga melahirkan para ulama hadits, seperti Ibnu Juraij (w.179 H) di Mekkah, Abi Ishaq (w.151 H) dan Imam Malik (w.179 H) di Madinah, al-Rabi Ibin Sabih (w.160 H) dan Abd al-Rahman al-Auzi (w.156 H) di Suriah.
Di samping lahirnya para ulama hadits, dihasilkan pula sejumlah kitab-kitab hadits karya para ulama, baik berupa al-Jami', al-Musnaf, maupun al-Musnad. Misalnya, al-Musnad karya Imam Syafi'i, al-Musnaf karya al-Auza'i, dan al-Muwaththa' karya Imam Malik yang disusun atas perintah khalifah Abu Ja'far al-Mansur,
Kitab-kitab hadits terbitan periode ini belum terseleksi betul sehingga isinya masih bercampur antara hadits Nabi dan fatwa sahabat, bahkan fatwa tabi'in, atau hadits marfu', mauquf, dan maqthu' di samping juga hadits palsu.
Periode kelima adalah periode pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan ('ashr al-tajrid wa al-tashhih wa al-tanqih) yang berlangsung antara awal abad ke-3 sampai akhir abad ke-3 Hijriah. Atau tepatnya, saat Dinasti Abbasiah dipegang oleh Khalifah al-Ma'mun sampai al-Muqtadir (2011-300 H). Pada masa ini, para ulama mengadakan gerakan penyeleksian, penyaringan, dan pengklasifikasian hadits-hadits, yaitu dengan cara memisahkan hadits marfu' dari hadits mauquf dan maqthu'. Hasil dari gerakan ini adalah lahirnya kitab-kitab hadits yang sudah terseleksi, seperti Kitab Shahih, Kitab Sunan, dan Kitab musnad. Kitab Shahih adalah kitab atau buku hadis yang hanya memuat hadits-hadits yang sahih. Kitab Sunan ialah kitab hadits yang mengoleksi hadits-hadits sahih dan hadits-hadits yang tidak terlalu lemah (dha'if). Adapun Kitab Musnad adalah kitab hadits yang mengoleksi segala macam hadits tanpa memperhatikan kualitasnya (sahih dan tidaknya), di samping juga tidak menerangkan derajat hadis.
Pada periode ini tersusun 6 kitab hadits terkenal yang biasa disebut Kutub al-Sittah, yaitu:     .
1. Al-Jami' al-Shahih karya Imam al-Bukhari (194-252 H);
2. Al-Jami' al-Shahih karya Imam Muslim (204-261 H);
3. Al-Sunan Abu Dawud karya Abu Dawud (202-275 H);
4. Al-Sunan karya al-Tirmidzi (200-279 H);
5. Al-Sunan karya al-Nasai (215-302 H); dan
6. Al-Sunan karya bin Majah (207-273 H).
Periode keenam adalah masa pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan ('ashr al-Tahzib wa al-Tartib wa al-Istidrak wa al-Jam'). Periode ini berlangsung sekitar dua setengah abad, yaitu antara abad keempat sampai pertengahan abad ketujuh Masehi, saat jatuhnya Dinasti Abbasiah ke tangan Hulagu Khan tahun 656 H/1258 M.
Gerakan ulama hadits pada periode keenam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan gerakan ulama pada periode kelima. Hasil dari gerakan mereka adalah lahirnya sejumlah kitab hadits yang berbeda seperti Kitab Syarah, Kitab Mustakhrij, Kitab Athraf, Kitab Mustadrak, dan Kitab Jami', Kitab Syarah ialah kitab hadits yang memperjelas dan mengomentari hadis-hadis tertentu yang sudah tersusun dalam beberapa kitab hadits sebelumnya. Kitab Mustakhrij ialah kitab hadits yang metode pengumpulan hadisnya dengan cara mengambil hadis dari ulama tertentu lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang berbeda dari sanad ulama hadits tersebut. Kitab Athraf ialah kitab hadits yang hanya memuat sebagian matan hadits, tetapi sanadnya ditulis lengkap. Kitab Mustadrak ialah kitab yang memuat hadits-hadits yang memenuhi syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau syarat-syarat salah satu dari keduannya. Kitab Jami' ialah kitab yang memuat hadits-hadits yang telah termuat dalam kitab-kitab yang telah ada.
Ulama-ulama hadits dan kitab-kitab hadits yang masyhur pada periode ini di antaranya ialah Sulaiman bin Ahmad al-Thabari, 'Abd al-Hasan Ali bin Umar bin Ahmad al-Daruquhni, Abu Awanah Yakub al-Safrayani, Ibnu Khuzaimah Muhammad bin Ishaq, Abu Bakr Ahmad bin Husain Ali al-Baihaqi,. Majuddin al-Harrani, al-Syaukani, Al-Munziri, Al-Shiddiqi, dan Muhyiddin Abi Zakaria al-Nawawi yang menulis kitab Riyadl al-Shalihin.
Periode ketujuh adalah periode persyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan ('ahd al-syarh wa al-jamu' wa al-takhrij wa al-bahts). Periode ini ini merupakan kelanjutan periode sebelumnya, terutama dalam aspek pensyarahan dan pengumpulan hadits-hadits. Ulama pada periode ini mulai mensistemisasi hadits-hadits menurut kehendak penyusun, memperbarui kitab-kitab mustakhraj dengan cara membagi-bagi hadits menurut kualitasnya. Mereka cenderung menyusun hadis sesuai dengan topik pembicaraan.
11.    Jelaskan syarat-syarat ijtihad
Seseorang yang ingin mendudukkan  dirinya  sebagai  mujtahid harus   memenuhi  beberapa  persyaratan.  Di  antara  sekian persyaratan itu yang terpenting ialah:
1.    Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan pengertian ia mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum.
2.    Berilmu pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits Rasul yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan arti ia sanggup untuk membahas hadits-hadits tersebut untuk menggali hukum.
3.    Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma' agar ia tidak berijtihad yang hasilnya bertentangan dengan ijma'.
4.    Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan dapat mempergunakannya untuk menggali hukum.
5.    Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab al-Qur'an dan Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam  bahasa Arab yang sangat tinggi gaya bahasanya dan cukup unik dan ini merupakan kemu'jizatan al-Qur'an.
6.    Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh dalam al-Qur'an dan Hadits. Hal itu agar ia tidak mempergunakan ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi yang telah dinasakh (mansukh) untuk menggali hukum.
7.    Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbab-u'l-nuzul) dan latar belakang suatu Hadits (asbab-u'l-wurud), agar ia mampu melakukan istinbath hukum secara  tepat.
8.    Mengetahui sejarah para periwayat hadits, supaya ia dapat menilai sesuatu Hadist, apakah Hadits itu dapat diterima ataukah tidak. Sebab untuk menentukan derajad/nilai suatu Hadits sangat tergantung dengan ihwal perawi yang lazim disebut dengan istilah sanad Hadits. Tanpa mengetahui sejarah perawi Hadits, tidak mungkin kita akan melakukan ta'dil tajrih (screening).
9.    Mengetahui ilmu logika/mantiq agar ia dapat menghasilkan deduksi yang benar dalam menyatakan suatu pertimbangan hukum dan sanggup mempertahankannya.
10.                        Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh, agar dengan kaidah kaidah ini ia mampu mengolah dan menganalisa dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum suatu permasalahan yang akan diketahuinya.
12.    Jelaskan macam-macam tingkat ijtihad
Ijtihad terdiri dari bermacam-macam tingkatan, yaitu:
1.    Ijtihad Muthlaq/Mustaqil, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara menciptakan sendiri norma-norma dan kaidah   istinbath yang dipergunakan sebagai sistem/metode bagi seorang mujtahid dalam menggali hukum. Norma-norma dan kaidah itu dapat diubahnya sendiri manakala dipandang perlu.   Mujtahid dari tingkatan ini contohnya seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad yang terkenal dengan  sebutan Mazhab Empat.
2.    Ijtihad Muntasib, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dengan mempergunakan norma-norma dan kaidah-kaidah  istinbath imamnya (mujtahid muthlaq/Mustaqil). Jadi untuk menggali hukum dari sumbernya, mereka memakai sistem atau metode yang telah dirumuskan imamnya, tidak menciptakan  sendiri. Mereka hanya berhak menafsirkan apa yang dimaksud dari norma-norma dan kaidah-kaidah tersebut. Contohnya, dari  mazhab Syafi'i seperti Muzany dan Buwaithy. Dari madzhab  Hanafi seperti Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf. Sebagian ulama menilai bahwa Abu Yusuf termasuk kelompok   pertama/mujtahid muthalaq/mustaqil.
3.    Ijtihad mazhab atau fatwa yang pelakunya disebut mujtahid  mazhab/fatwa, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid   dalam lingkungan madzhab tertentu. Pada prinsipnya mereka mengikuti norma-norma/kaidah-kaidah istinbath imamnya, demikian juga mengenai hukum furu'/fiqih yang telah dihasilkan imamnya. Ijtihad mereka hanya berkisar pada masalah-masalah yang memang belum diijtihadi imamnya,   men-takhrij-kan pendapat imamnya dan menyeleksi beberapa   pendapat yang dinukil dari imamnya, mana yang shahih dan  mana yang lemah. Contohnya seperti Imam Ghazali dan Juwaini  dari madzhab Syafi'i.
4.    Ijtihad di bidang tarjih, yaitu ijtihad yang dilakukan  dengan cara mentarjih dari beberapa pendapat yang ada baik  dalam satu lingkungan madzhab tertentu maupun dari berbagai   mazhab yang ada dengan memilih mana diantara pendapat itu yang paling kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai  dengan kemaslahatan sesuai dengan tuntunan zaman. Dalam  mazhab Syafi'i, hal itu bisa kita lihat pada Imam Nawawi dan Imam Rafi'i. Sebagian ulama mengatakan bahwa antara kelompok   ketiga dan keempat ini sedikit sekali perbedaannya; sehingga   sangat sulit untuk dibedakan. Oleh karena itu mereka menjadikannya satu tingkatan.
13.    Jelaskan madzhab atau firqah Ilmu Kalam yang terpenting
Firqah-firqah ilmu kalam dalam Islam ada banyak. Yang terpenting adalah:
1.    Firqah Syi’ah:    Golongan firqah ini terpadu padanya firqoh dan mazhab. Sebab mereka beranggapan bahwa sayidina Ali bin abi Thalib dan anak keturunannya lebih berhak menjadi khalifah daripada orang lain. Berdasarkan wasiat nabi. masalah khilafah ini adalah soal politik yang dalam perkembangan ini selanjutnya mewarnai pandangan mereka di bidang agama. Syi’ah adalah golongan yang menyanjung dan memuji Sayyidina Ali secara berlebih-lebihan. Karena mereka beranggapan bahwa beliau adalah yang lebih berhak menjadi khalifah pengganti nabi Muhammad saw. Berdasarkan wasiatnya. Sedangkan khalifah-khalifah, seperti Abu Bakar, Umar bin Khatab, dan Utsman bin Affan di anggap sebagai penggasab atau perampas. Inti ajaran syi’ah adalah berkisar masalah khilafah. Jadi masalah politik, yang akhirnya berkembang dan bercampur dengan masalah-masalah agama. Ajaran-ajarannya yang terpenting yang berkaitan dengan khilafah.

2.    Firqah Khawarij:   Asal mulanya kaum khawarij adalah orang-orang yang mendukung Sayyidina Ali. Akan tetapi akhirnya mereka membencinya karena dianggap lemah dalam menegakkan kebenaran, mau menerima tahkim yang sangat mengecewakan, sebagaimana mereka juga membenci mu’awiyyah karena melawan sayyidina ali khalifah yang sah. Kaum khawarij kadang-kadang menamakan diri mereka sebagai kaum syurah. Artinya orang-orang yang mengorbankan dirinya untuk kepentingan keridhaan Allah. Latar belakang khawarij menetapkan dosa itu hanya satu macamnya, yaitu dosa besar, agar dengan demikian orang Islam yang tidak sejalan dengan pendiriannya dapat diperangi dan dapat dirampas harta bendanya. Dengan dalih mereka bedosa besar dan setiap yang berdosa adalah kafir.
3.    Firqah Mu’tazilah:    Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata i’tazala, artinya menyisihkan diri. Kaum Mu’tazilah berarti orang-orang yang menyisihkan diri. Berbeda dengan pendapat orang tentang sebab musabab timbulnya firqah Mu’tazilah itu.   Mu’tazilah ini ternyata banyak terpengaruh oleh unsur-unsur luar. Antara lain dari kalangan orang-orang Yahudi, sehingga mereka berpendapat bahwa Al-Qur’an itu hadits atau khalqul qur’an. Pengaruh yang sama dari orang-orang Kristen.   Orang-orang Mu’tazilah giat mempelajari filsafat Yunani untk mempertahankan pendapat-pendapatnya, terutama filsafat Plato dan Aristoteles. Ilmu logika sangat menarik perhatiannya, karena menunjang berfikir logis. Memang mu’tazilah lebih mengutamakan akal fikiran, dan sesudah itu baru al-Qur’an dan hadits. Hal ini berbeda dengan golongan ahlussunnah, yang mendahulukan al-Qur’an dan hadist, kemudian baru akal fikiran.   Sekalipun firqah mu’tazilah terpecah belah menjadi 22 aliran, namun aliran-aliran tersebut masih mempunyai lima prinsip ajaran yang mereka sepakati, yaitu: Tauhid, Adil, Janji dan ancaman,  Tempat di antara dua tempat, dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
4.    Firqah Qadariyah:       Qadariyah mula-mula timbul sekitar tahun 70 H/689 M, dipimpin oleh Ma’bad Al-Juhni al-Bisri dan Ja’ad bin Dirham, pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan (685-705 M).   Latar belakang timbulnya qadariyah ini sebagai isyarat menentang kebijakan politik Bani Umayyah yang dianggapnya kejam. Mereka mengatakan bahwa Allah itu adil, maka Allah akan menghukum orang yang bersalah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat kebaikan. Manusia harus bebas dalam menentukan nasibnya sendiri dengan memilih perbuatan yang baik atau yang buruk. Manusia harus mempunyai kebebasan berkehendak
5.    Firqah Jabariyah:     Firqah Jabariyah timbul bersama dengan timbulnya firqah Qadariyah. Dan tampaknya merupakan reaksi dari padanya. Daerah tempat timbulnya juga tidak berjauhan. Firqah Jabariyah timbul di Khurasan Persia.  Pemimpinnya yang pertama ialah Jahm Bin Sofwan. Karena itu, firqah ini kadang-kadang disebut al-Jahamiyah. Ajaran-ajarannya banyak persamaannya dengan aliran Qura’ Agama Yahudi dan aliran Ya’qubiyah Agama krisetn. Orang-orang jabariyah berpendapat bahwa manusia itu tidak mempunyai daya ikhtiar, merupakan kebalikan dari faham qadariya.  Jabariyah berpendapat bahwa hanya Allah sajalah yang menentukan dan memutuskan segala amal perbuatan manusia. Semua perbuatannya itu sejak semula telah diketahui Allah. Dan semua amal perbuatannya itu adalah berlaku dengan kodrat dan iradat-nya.
6.    Firqah Murji’ah:   Firqah murji’ah adalah dengan latar belakang politik. Sewaktu pusat pemerintahan Islam pindah kedamaskus, maka mulai tampak kurang taatnya beragama kalangan penguasa Bani Umayyah, berbeda dengan kulafaur rasyidin. Pemimpin Murji’ah ini adalah Hasan Bin Bilal Al-Muzni, Abu salat as-samman, tsauban Dhirar bin Umar.  Orang-orang Murji’ah berpendapat bahwa seorang muslim boleh saja shalat di belakang seorang yang saleh ataupun dibelakang orang yang fasiq. Sebab penilaian baik dan buruk itu terserah kepada Allah. Soal ini mereka tangguhkan dan karena itu pulalah mereka dinamakan golongan murji’ah, yang berarti melambatkan atau menganggalkan tentang balasan Allah sampai akhirat nanti.
7.    Firqah Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah: Ini adalah orang-orang yang pengikut sunnah Rasulullah. Artinya berpegang teguh dengannya. Sedangkan yang dimaksud al jama’ah ialah jama’ah Rasulullah dan mereka orang-orang yang dijamin selamat dari api neraka. Ahlus sunnah wal jama’ah ialah orang-orang yang menganut I’tikad yang diajarkan oleh nabi Muhammad SAW dan diikuti oleh sahabat-sahabatnya. Ajaran I’tikad yang termaktub dalam Al-Qur’an dan hadits itu. Di himpun dan disusun secara rapi dan teratur. 
14.    Jelaskan tokoh-tokoh  dalam tasawuf yang terpenting
Di anatara tokoh-tokoh Tasawuf  yang terpenting adalah:
1.        Ibn Athaillahas Sakandary
Nama lengkapnya Ahmad ibn Muhammad Ibn Athaillah as Sakandary (w. 1350M), dikenal seorang Sufi sekaligus muhadits yang menjadi faqih dalam madzhab Maliki serta tokoh ketiga dalam tarikat al Syadzili. Penguasaannya akan hadits dan fiqih membuat ajaran-ajaran tasawufnya memiliki landasan nas dan akar syariat yang kuat. Karya-karyanya amat menyentuh dan diminati semua kalangan, diantaranya Al Hikam, kitab ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran spiritual di kalangan murid-murid tasawuf. Kitab lainnya, Miftah Falah Wa Wishbah Al Arwah (Kunci Kemenangan dan Cahaya Spiritual), isinya mengenai dzikir, Kitab al-Tanwir Fi Ishqat al Tadhbir (Cahaya Pencerahan dan Petunjuk Diri Sendiri), yang disebut terakhir berisi tentang metode madzhab Syadzili dalam menerapkan nilai Sufi, dan ada lagi kitab tentang guru-guru pertama tarekat Syadziliyah - Kitab Lathaif Fi Manaqib Abil Abbas al Mursi wa Syaikhihi Abil Hasa.
2.        Al Muhasibi
Nama lengkapnya Abu Abdullah Haris Ibn Asad (w. 857). Lahir di Basrah. Nama "Al Muhasibi" mengandung pengertian "Orang yang telah menuangkan karya mengenai kesadarannya". 
Pada mulanya ia tokoh muktazilah dan membela ajaran rasionalisme muktazilah. Namun belakangan dia meninggalkannya dan beralih kepada dunia sufisme dimana dia memadukan antara filsafat dan teologi. Sebagai guru Al Junaed, Al Muhasibi adalah tokoh intelektual yang merupakan moyang dari Al Syadzili. Al Muhasibi menulis sebuah karya "Ri'ayah li Huquq Allah", sebuah karya mengenai praktek kehidupan spiritual.
3.        Abdul Qadir Al-Jilani
Abdul Qadir Al Jilani (1077-1166) adalah seorang Sufi yang sangat tekenal dalam agama Islam. Ia adalah pendiri tharikat Qadiriyyah, lahir di Desa Jilan, Persia, tetapi meninggal di Baghdad Irak. Abdul Qadir mulai menggunakan dakwah Islam setelah berusia 50 tahun. Dia mendirikan sebuah tharikat dengan namanya sendiri. Syeikh Abdul Qadir disebut-sebut sebagai Quthb (poros spiritual) pada zamannya, dan bahkan disebut sebagai Ghauts Al-‘Azham (pemberi pertolongan terbesar), sebutan tersebut tidak bisa diragukan karena janjinya untuk memperkenalkan prinsip-prinsip spiritual yang penuh kegaiban. Buku karangannya yang paling populer adalah Futuh Al Ghayb (menyingkap kegaiban). Melalui Abdul Qadir tumbuh gerakan sufi melalui bimbingan guru tharikat (mursyid). Jadi Qadiriyah adalah tharikat yang paling pertama berdiri.
4.        Al-Hallaj
Nama lengkapnya Husayn Ibn Mansyur al-Hallaj (857-932), seorang Sufi Persia dilahirkan di Thus yang dituduh Musyrik oleh khalifah dan oleh para pakar Abbasiyah di Baghdad oleh karenanya dia dihukum mati. Al-Hallaj pertama kali menjadi murid Tharikat Syeikh Sahl di Al Tutsari, kemudian berganti guru pada Syeikh Al-Makki, kemudian mencoba bergabung menjadi murid al-Junaed al-Baghdadi, tetapi ditolak. Al-Hallaj terkenal karena ucapan ekstasisnya "Ana Al Haqq" artinya Akulah Yang Maha Mutlak, Akulah Yang Maha Nyata,bisa juga berarti "Akulah Tuhan", mengomentari masalah ini Al Junaid menjelaskan "melalui yang Haq engkau terwujud", ungkapan tersebut mengandung makna sebagai penghapusan antara manusia dengan Tuhan. Menurut Junaid "al-‘abd yabqa al-‘abd, al-Rabb yabqa al-Rabb" artinya pada ujung perjalanan "manusia tetap sebagai manusia dan Tuhan tetap menjadi Tuhan".

Pada jamannya Al Hallaj dianggap musyrik, akan tetapi setelah kematiannya justru ada gerakan penghapusan bahkan Al-Hallaj disebut sebagai martir atau syahid. Sampai sekarang Al-Hallaj tetap menjadi teka-teki atau misteri karena masih pro dan kontra.
 
15.    Bagaimana perbedaan kondisi dunia Islam dahulu dan sekarang?
Kaum Muslim di masa keemasannya menghasilkan   kecemerlangan Islam  di dunia secara spektakuler, sementara dunia  non-Islam masa itu dalam kondisi gelap-gulita.  Akhirnya, setelah  Islam merambah ke   dunia itu, barulah   dunia itu   mengalami   kecemerlangan   pula.   Lebih   aneh   lagi,  justru   pembawa kecemerlangan  dunia berasal  dari orang-orang  yang dahulunya  dianggap sebagai manusia yang  kurang beradab dan  menurut sebagian sejarawan  mereka itu sebagai orang-orang   yang  secara   genetik   dianggap  tidak   mempunyai   bakat   dan kemampuan rasional.
Oleh   sebab  itu,  kemajuan   yang  spektakuler  umat   Islam  pada  masa   itu merupakan  suatu  prestasi  yang  sangat  mengagumkan.  Karena dengan  Islamnya, orang-orang  tersebut  mampu  mendirikan Negara  adikuasa  tanpa   tandingan dan mengalahkan adikuasa-adikuasa  yang sudah  ada pada  masa itu.  Secara historis, kaum  Muslimin menjadi  adikuasa selama  12,5 abad.  Setelah itu,  barulah  kaum Muslimin mengalami kemunduran. Belakangan, pada abad ke-20-an kaum Muslimin baru mengalami  kebangkitan kembali,  setelah 300  tahun (tiga  abad) dijajah  Eropa. Kondisi kaum Muslimin secara  sangat mengejutkan menjadi adikuasa  dunia, sampai mencapai dua belas  abad lebih, dan  secara tiba-tiba terjatuh  sehingga menjadi negara-negara  lemah  dan terjajah  oleh  Eropa, padahal  mulanya  Eropa sendiri adalah murid kaum  Muslimin dan merupakan  suatu kejutan baru  bagi para ilmuwan dunia. Ada apa dengan kaum Muslimin itu. Mengapa dengan secara mengejutkan mampu menguasai dunia begitu lama, lalu  secara tiba-tiba jadi lumpuh bahkan  bertekuk lutut di hadapan para penguasa Eropa. Hingga kini (abad 21) sepertinya belum ada satu negara Islam pun di dunia ini yang mampu menyaingi kemajuan Eropa.
16.    Bagaimana kaum intelektual kini menyikapi kelumpuhan dunia Islam di segala bidang di masa kini? Apa saja usulan solusi dan terapinya?
Menyikapi kondisi umat  Islam yang  lumpuh dan  bertekuk lutut  dihadapan  Eropa itu telah  mendorong lahirnya  beberapa  pemikir  Islam modern.   Di Mesir lahir seorang raja buta  huruf namun,  berpikiran modern  dan brilian,  Muhammad  Ali. la  menjadi  pembaru di  Mesir sehingga  dikenal sebagai  The Founder  of Modern Egypt, di  India lahir  pula  seorang  pembaru,   Syah  Waliyullah   al-Dahlawy; beberapa   tokoh selanjutnya  menjadi  pembangkit  rakyal India  (Muslim)  untuk merebut  kembali supremasi   kekuasaan kaum   muslimin. Akhir-akhir   ini,  juga lahir para  pemikir muslim  yang suara  lebih nyaring  lagi. Mereka  menyuarakan kebangkitan  Islam. Sebagian mereka menyuarakan Islamisasi  iptek, sebagian lagi bahkan   menyuarakan  agar  iptek  dijadikan  sebagai  sarana   metodologi untuk mengkaji  Islam  agar   Islam  tidak  ketinggalan   dari  Eropa   karena sejarah kemajuan Islam  pada masa  klasik lebih  disebabkan  oleh  kaum  Muslimin  masa klasik   menggunakan   iptek  untuk  mengkaji  Islam   sehingga  kaum   Muslimin memperoleh  kemajuan  yang  menakjubkan,  bahkan telah  menjadi guru  besar bagi orang-orang  Eropa lebih  dari dua  belas abad  lamanya. Di  antara mereka  yang menyuarakan  konsep-konsep  ini adalah  C.A.   Qadir (lahir  1909),  A.K.  Brohi (1915-1987), Abdul   Salam (lahir  1926),  Fazlurrahman  (1919-1988), M.  Arkoun (lahir  1928),  Ziauddin   Sardar,  dan  Hasan   Hanafi  (lahir  1935).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Penulisan Biografi Lucu

terjemah lagu ayat-ayat cinta - rossa

Sinopsis dan Komentar novel Gia The Diary of A Little Angel karya Irma Irawati.